FILE - This Sept. 28, 2001, file photo of Muslim Uighur men emerging from the Id Kah mosque after prayers, in Kashgar, in China's western Xinjiang province Friday, Sept. 28, 2001. This weekend's bloody riot in China's Muslim far west carries disturbing reminders of anti-Chinese violence in another troubled region -- Tibet -- and shows how heavy-handed rule and radical resistance are pushing unrest to new heights. The clash between ethnic Muslim Uighurs and China's Han majority in Xinjiang that left at least 140 dead signaled a new phase in a region used to seeing bombings and assassinations by militant separatists but few mass protests. (AP Photo/Greg Baker,file)

Jakarta, Aktual.com – Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu’ti menyesalkan pemberitaan Wallstreet Journal yang menyebutkan adanya fasilitas dan lobi-lobi China untuk mempengaruhi ormas Islam di Indonesia agar melunak atas persoalan kemanusiaan Etnis Uighur di Provinsi Xinjiang.

“Pemberitaan tersebut sangat tidak berdasar dan fitnah yang merusak nama baik Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama dan Majelis Ulama Indonesia,” kata Mu’ti dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (16/12).

Muhammadiyah, kata dia, mendesak agar Wallstreet Journal meralat berita tersebut dan meminta maaf kepada warga Muhammadiyah. Apabila hal tersebut tidak dipenuhi, Muhammadiyah akan mengambil langkah hukum sebagaimana mestinya.

Ketua Biro Hubungan Luar Negeri dan Kerja Sama Internasional PP Muhammadiyah KH Muhyiddin Junaidi mengatakan pihaknya tidak menerima suap dalam bentuk apapun dari pemerintah China.

Dia mengatakan dalam kunjungan Muhammadiyah, NU dan MUI ke Xinjiang pada Februari 2019 menemukan sejumlah kejanggalan soal kondisi beragama di kawasan yang mayoritas dihuni Etnis Uighur.

Muhyiddin mengatakan delegasi ormas meminta diantar otoritas China ke masjid untuk Shalat Subuh, tetapi tidak dipenuhi dengan alasan tempat ibadah yang jauh dan cuaca dingin.

“Tapi apapun permintaan dari tamu harusnya diberi oleh ‘shohibul bait’ atau tuan rumah,” kata dia.

Kemudian, kata dia, ada kejanggalan logo kiblat di tempat penginapan delegasi ormas yang nampak baru dipasang. Sejumlah informasi itu menjadi penanda awal bahwa China memang tidak mengakomodasi praktik agama secara terbuka.

“Kami juga tidak melihat perempuan di Xinjiang mengenakan hijab meski di sana Islam adalah mayoritas. Mengenakan hijab di ruang terbuka dianggap radikal. Perempuan boleh mengenakan hijab di ruang tertutup,” kata dia.

Artikel ini ditulis oleh:

Reporter: Antara
Editor: Arbie Marwan