Persoalan lain yang diduga kuat akan memberangus kehidupan demokrasi Indonesia adalah disahkannya UU MD3 pada 12 Februari 2018 lalu. Revisi dari regulasi ini diantaranya adalah terdapatnya penambahan kursi pimpinan, hak imunitas dan adanya wewenang dari Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) untuk menindak seseorang atau kelompok yang merendahkan kehormatan parlemen.

Hak imunitas anggota DPR tercantum dalam pasal 245 UU MD3. Pasal ini berbunyi, “Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR sehubungan dengan terjadinya tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 244 harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan”.

Terkait hak imunitas, Ketua DPR RI Bambang Soesatyo memiliki dalih yang sangat menarik. Menurutnya, hak imunitas yang dimiliki oleh anggota DPR sama halnya dengan perlindungan terhadap profesi lainnnya, seperti wartawan dan advokat misalnya.

Bamsoet menjelaskan, seseorang tidak dapat memasukkan wartawan ke ranah hukum pidana atas kerja jurnalistik karena dilindungi oleh UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers.

Sama halnya dengan advokat, yang dalam menjalankan profesinya telah dilindungi oleh UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.

Dengan demikian, Bamsoet pun menganggap bahwa anggota DPR pun termasuk sebuah profesi yang harus dilindungi oleh UU.

“Setiap profesi harus mendapatkan perlindungan hukum, termasuk anggota dewan,” ujar Bamsoet di komplek DPR, Jakarta, Selasa (13/2) lalu.

Menariknya, pembahasan UU MD3 sejak masih dalam rancangannya, berbeda dengan proses pembahasan RUU di DPR pada umumnya karena tidak adanya masukan dari publik. Hal ini pun menyimpang dari aturan, akibatnya tiga isu krusial yang disebutkan di atas pun luput dari perhatian publik.

“Baru kali ini membahas UU MD3 ini DPR melakukannya secara diam-diam secara sembunyi-sembunyi, dan tiba-tiba sepekan sebelum disahkan isu-isu krusial yang ada dalam UU MD3 muncul ke publik,” kata peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus di Jakarta, Kamis (22/2) lalu.

Lucius menambahkan, proses pembahasan yang tertutup ini sejatinya telah menyimpang dari misi pembentukan legislasi yang merupakan kewenangan pokok DPR dalam menjalankan fungsinya sebagai wakil rakyat.

Namun, tampaknya DPR memang tidak ingin masalah ini menjadi besar sejak pembahasan. Hak imunitas memang seakan menjadi agenda yang harus digolkan pada saat ini juga oleh sebagian besar anggota DPR.

Hal ini nampak dalam ucapan yang dilontarkan oleh Wakil Ketua DPR Fadli Zon, beberapa hari sebelum UU MD3 disahkan. Menurutnya, hak imunitas ini sengaja dimunculkan untuk menghindari kesewenang-wenangan aparat penegak hukum terhadap anggota DPR.

Politisi Gerindra ini menambahkan, tugas-tugas dari seorang anggota DPR memang harus terlindungi secara hukum.

“Karena kita harus melihat sepanjang yang dia lakukan adalah tugas-tugas konstitusional, ya mestinya tidak bisa dikiriminalisasi atau dilaporkan,” ujar Fadli pada Kamis (8/12) lalu.

Meskipun mengakui jika hak imunitas tidak berlaku untuk semua kasus, seperti korupsi, narkoba atau OTT, Fadli tetap menekankan jika adanya potensi dikriminalisasi untuk beberapa kasus.

“Kecuali tindak pidana khusus seperti korupsi, narkoba, apalagi OTT (operasi tangkap tangan). Tapi di luar itu tidak bisa dikriminalisasi, misalnya berpendapat dianggap menghina Presiden. Saya kira memang tugasnya DPR,” sambung Fadli.

Persoalan hak imunitas sendiri memang menjadi magnet dalam beberapa waktu belakangan. Disahkannya UU MD3 pun menambah geram publik.

Mantan ketua MK, Mahfud MD pun angkat bicara mengenai hal ini. Secara terang-terangan, Mahfud mengaku menentang keras disahkannnya UU MD3.

Tidak hanya itu, ia pun menegaskan akan ikut serta dalam gerakan yang menentang pengesahan UU MD3 ini. “DPR sedang mengebalkan dirinya melalui UU tersebut, termasuk untuk perbuatan kriminal, semua dipukul rata tidak boleh disentuh hukum jika menyangkut DPR,” ujar Mahfud di Yogyakarta, Jumat (19/2).

Kritikan keras Mahfud tidak berhenti di situ saja. Ia pun secara tidak langsung membantah ucapan Fadli Zon yang menyebut anggota DPR tidak dapat dikenai kriminalisasi di luar kasus korupsi dan OTT.

“Maaf, kalau misalnya ada anggota DPR merampok, memperkosa sekretaris di ruang kerja atau jualan narkoba masak enggak boleh ditangkap? Ya ditangkap dong, ini enggak perlu izin Presiden dan MKD,” tegasnya.

Selain hak imunitas, persoalan lain yang sama bahayanya dari UU MD3 menurut Mahfud adalah pemanggilan paksa oleh DPR dan peran MKD. Pemanggilan paksa oleh DPR sendiri diatur dalam Pasal 73 ayat (4).

Bunyi pasal 73 ayat (4) yaitu, “Dalam hal pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum dan/atau warga masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak hadir setelah dipanggil 3 (tiga) kali berturut-turut tanpa alasan yang patut dan sah, DPR berhak melakukan panggilan paksa dengan menggunakan Kepolisian Negara Republik Indonesia”.

Sedangkan potensi bahaya dari peran MKD yang dimaksud Mahfud adalah adanya tindakan yang dapat diambil oleh MKD terhadap seseorang atau kelompok yang dinilai merendahkan kerhormatan dewan. Hal ini tercantum dalam pasal 122 UU MD3.

Pada kesempatan yang lain, Koordinator Formappi Sebastian Salang pun mengamini ucapan Mahfud. Dalam sistem negara demokrasi, jelasnya, hal itu sudah tidak diperlukan lagi. Sebab, undang-undang sejatinya menjamin kebebasan masyarakat untuk berekspresi, bukan malah membatasinya.

“Menurut saya, rumusan pasal 122 itu ingin membongkar kebebasan masyarakat, teteapi bagi keebebasan berwarganegara dan kebebasan pers, pelanggaran hak asasi dan menyeret demokrasi kita mundur ke belakang,” ujar Salang.

Darurat Demokrasi

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Nebby