Yerusalem, Aktual.com – Rekor 12 tahun Benjamin Netanyahu sebagai perdana menteri Israel berakhir pada Ahad (13/6) ketika parlemen menyetujui “perubahan pemerintahan” baru yang dipimpin oleh nasionalis Naftali Bennett, sebuah skenario mustahil yang pernah dibayangkan oleh segelintir warga Israel.

Akan tetapi, kemenangan sangat tipis yang dicapai koalisi pada pemungutan suara –menyangkut kepercayaan terhadap Netanyahu– dengan hasil 60-59 suara menunjukkan kekuatan yang rapuh. Koalisi itu sendiri terdiri dari partai sayap kiri, tengah, dan Arab yang tidak terlalu punya kesamaan –kecuali sama-sama ingin menggulingkan sang perdana menteri Israel dari jabatannya.

Di Tel Aviv, ribuan orang menyambut hasil tersebut setelah empat kali pemilihan dalam dua tahun.

“Saya di sini merayakan berakhirnya sebuah era di Israel,” kata Erez Biezuner di Alun-alun Rabin. “Kami ingin mereka berhasil dan menyatukan kami lagi,” tambahnya, saat pendukung pemerintahan baru bernyanyi dan menari mengelilinginya.

Netanyahu, sosok agresif berusia 71 tahun, menyatakan akan segera kembali lebih cepat dari yang diperkirakan.

“Jika kami ditakdirkan untuk menjadi oposisi, kami akan melakukannya dengan bangga hingga kami dapat menggulingkannnya,” kata Netanyahu kepada parlemen sebelum pelantikan Bennett.

Pemerintah baru sebagian besar berencana untuk tidak terlalu memusatkan upaya untuk mengurusi masalah-masalah internasional yang panas, seperti kebijakan terhadap Palestina, melainkan akan berfokus pada reformasi dalam negeri.

Warga Palestina tidak tergugah dengan perubahan pemerintahan. Mereka memprediksikan bahwa Bennett, mantan kepala pertahanan yang membela pencaplokan Israel di wilayah Tepi Barat yang diduduki, akan membawa agenda sayap kanan yang sama seperti yang dilancarkan Netanyahu, sang pemimpin partai Likud.

Berdasarkan kesepakatan koalisi, Benett, seorang Yahudi Ortodoks sekaligus jutawan perusahaan teknologi canggih, akan digantikan sebagai perdana menteri pada 2023 oleh Yair Lapid, 57 tahun, mantan pembaca acara TV ternama.

Dengan partai Yamina sayap kanannya yang hanya mengantongi enam dari 120 kursi parlemen dalam pemilihan terakhir, kenaikan Bennett ke posisi perdana menteri menjadi sebuah pukulan politik.

Diwarnai teriakan “pembohong” dan “penghinaan” yang terus menerus dari loyalis Netanyahu di parlemen, Bennett berterima kasih kepada mantan perdana menteri itu atas “pengabdian yang panjang dan penuh dengan prestasi.”

Hubungan manis di antara kedua sosok itu agak memudar: Bennett pernah menjadi kepala staf Netanyahu dan memiliki hubungan yang berliku dengannya sebagai menteri pertahanan. Meski mereka berdua merupakan tokoh sayap kanan, Bennett menolak seruan Netanyahu untuk bergabung dengannya pascapemilihan 23 Maret. (Reuters)

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: As'ad Syamsul Abidin