Namun demikian, ia belum bisa memastikan apakah uang Rp700 juta yang dikembalikan oleh Sarmuji dan sebelumnya Rp500 juta yang dikembalikan Eni akan dipergunakan penyidik sebagai bukti untuk penerapan pidana korporasi ke Partai Golkar.
Sementara itu, pakar hukum Pidana Universitas Trisakti Yenti Ganarsih menilai partai politik (parpol) yang terlibat atau menerima aliran dana dari hasil korupsi, dalam hal ini Golkar, dapat dijerat dengan UU 8/2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Secara spesifik, Yenti menyebut parpol dapat dijerat dengan Pasal 6 UU TPPU.
“Kalau yang mengalir itu dari korupsi berarti ada TPPU. Kalau yang terlibat partai yang bisa dijerat dengan Pasal 6 UU TPPU,” kata Yenti, ketika dihubungi Selasa 25 september 2018.
Pasal 6 Ayat (1) UU tersebut menyatakan ‘dalam hal tindak pidana Pencucian Uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 dilakukan oleh Korporasi, pidana dijatuhkan terhadap korporasi dan/atau Personil Pengendali Korporasi’.
Sementara Ayat (2) menyebutkan ‘pidana dijatuhkan terhadap korporasi apabila tindak pidana pencucian uang dilakukan atau diperintahkan oleh personil pengendali korporasi, dilakukan dalam rangka pemenuhan maksud dan tujuan korporasi, dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi pelaku atau pemberi perintah, dilakukan dengan maksud memberikan manfaat bagi korporasi’.
Yenti menegaskan, partai politik dapat dikategorikan sebagai korporasi. Hal ini berdasarkan Pasal 1 UU TPPU angka 14 yang menyebutkan korporasi merupakan subyek hukum UU TPPU.
“Dan partai termasuk subyek hukum UU TPPU. Bahkan juga subyek hukumnya UU Tipikor, dan UU Lingkungan Hidup,” tegasnya.
Selain dengan TPPU, parpol yang terlibat korupsi juga dapat dijerat dengan UU Tipikor. Apalagi, Mahkamah Agung (MA) sudah menerbitkan Perma 13/2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi.
“Perma itu justru untuk mendorong dan pemandu pasal-pasal tindak pidana korporasi yang sudah ada sejak lama tapi jarang diterapkan. Tetap pasalnya mengacu ke UU yang dilanggar apakah itu UU Tipikor atau UU TPPU dan lainnya,” jelasnya.
Yenti menegaskan, aturan perundang-undangan sudah sangat jelas mengatur mengenai pemidanaan terhadap korporasi atau parpol. Saat ini, katanya, yang dibutuhkan KPK dan penegak hukum lain adalah mencari bukti dan keberanian untuk menjerat parpol sebagai tersangka.
“Semua sudah jelas dalam perundang-undangannya. Tinggal cari bukti dan kemauan penegak hukumnya,” katanya.
Meski demikian, menurut Yenti terdapat undang-undang yang lebih efektif dari UU Tipikor, yakni dengan menerapkan UU TPPU. Hal ini lantaran UU TPPU bersifat mengikuti aliran dana atau follow the money. Selain itu, dengan UU TPPU pemulihan kerugian keuangan negara dapat lebih maksimal dilakukan KPK dan penegak hukum.
“Aliran dana dari hasil korupsi itu lebih mudah pakai TPPU sesuai dengan sifatnya follow the money as proceed a crime, daripasa pakai UU Tipikor. Lebih mudah melacaknya bila ada yang mengalir ke partai. Kalau pakai TPPU lebih mudah merampas kembali,” kata dia.
Dalam Pasal 7 Ayat (1) UU TPPU disebutkan pidana pokok yang dijatuhkan terhadap korporasi adalah pidana denda paling banyak Rp 100 miliar. Namun, Pasal 7 Ayat (2) menyatakan, selain pidana denda, korporasi juga dapat dijatuhi hukuman tambahan berupa pengumuman putusan hakim, pembekuan kegiatan, pencabutan izin hingga pembubaran. Yenti menyatakan, hukuman tambahan tersebut juga bisa diterapkan pada partai politik yang terbukti melakukan pencucian uang.
“(Pembubaran) Berlaku, tapi tergantung pandangan hakim. Karena bisa jadi hakim hanya menjatuhkan denda saja pada partainya sebagai pidana pokok,” katanya.
Airlangga Akui Pertemuan
Halaman berikutnya…
Artikel ini ditulis oleh:
Nebby