26 Desember 2025
Beranda blog Halaman 400

Israel Kembali Serang Yaman Renggut 46 Korban

Moskow, aktual.com – Jumlah korban tewas akibat serangan udara Israel di ibu kota Sana’a dan Provinsi Al Jawf pada Rabu bertambah menjadi 46 orang, kata juru bicara Kementerian Kesehatan Yaman, Anis al-Asbahi, pada Kamis (12/9).

“Jumlah korban tewas akibat agresi Israel di ibu kota Sana’a dan Al Jawf bertambah menjadi 46 korban tewas dan 165 korban luka, termasuk sejumlah besar perempuan dan anak-anak,” kata al-Asbahi di platform X.

Menurut dia, data mengenal korban serangan Israel belum final.

Militer Israel (IDF) pada Rabu mengaku telah melancarkan serangan baru terhadap fasilitas militer milik gerakan Ansar Allah Yaman, yang juga dikenal sebagai Houthi.

Menurut IDF, target yang mereka serang adalah infrastruktur milik Houthi, termasuk kamp militer dan gudang bahan bakar.

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain

SOROTAN: Reformasi Polri Jangan Sekedar Dekorasi Demokrasi

Ilustrasi: SOROTAN: Mutasi, Sinyal Suksesi di Tubuh Polri?

Sejak kelahirannya, Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) mengemban cita-cita mulia sebagai pelindung, pengayom, dan penegak hukum bagi masyarakat. Namun perjalanan sejarah menunjukkan wajah Polri selalu ditentukan oleh dinamika politik dari satu orde ke orde berikutnya. Polri adalah institusi yang memegang kewenangan luas, namun posisi tersebut sering menjebaknya dalam dilema antara kepentingan negara, masyarakat, dan rezim yang berkuasa, kendati ketiga orde berpegang pada prinsip ‘demokrasi’.

Pada masa Orde Lama (1945–1966), Undang-Undang No. 13 Tahun 1961 menegaskan polisi sebagai alat kekuasaan negara sekaligus alat revolusi. Dengan fungsi menjaga keamanan dalam negeri, Polri lebih berperan melindungi kepentingan rezim dibanding masyarakat.

Sementara di era Orde Baru (1966–1998), Polri kehilangan kemandiriannya karena masuk dalam struktur ABRI melalui doktrin Dwifungsi. Polri pun berubah menjadi instrumen represif rezim Soeharto, berperan menjaga stabilitas politik dan kerap bertindak merugikan masyarakat.

Reformasi 1998 melahirkan cita-cita baru, Polri dipisahkan dari ABRI dan ditempatkan langsung di bawah Presiden melalui Tap MPR VI/2000 dan VII/2000. Agenda besar reformasi adalah mewujudkan democratic policing, yaitu polisi yang profesional, humanis, transparan, tunduk pada hukum, dan akuntabel.

Gagasan-gagasan teknokratik disusun untuk membangun kepercayaan publik dan menjadikan polisi mitra masyarakat. Namun realitas menunjukkan, meski militerisasi berakhir, praktik represif belum sepenuhnya hilang. Singkat kata, instrumental dan struktural selesai, namun kultural masih menjadi pekerjaan rumah hingga saat ini.

Jebakan demokrasi muncul ketika Polri justru memegang diskresi besar tanpa pengawasan memadai. Lembaga pengawasan yang dibentuk ex-officio hanya berfungsi memberi saran teknis tanpa daya paksa.

Akibatnya, kewenangan luas Polri berpotensi disalahgunakan. Transformasi ke arah kepolisian demokratis pun tetap menjadi pekerjaan rumah besar reformasi hingga kini.

Di sisi lain, persetujuan Presiden Prabowo Subianto untuk membentuk komisi reformasi kepolisian pasca-dialog dengan tokoh Gerakan Nurani Bangsa (GNB) menandai fase penting dalam upaya membongkar problem struktural Polri.

Dari perspektif politik, langkah ini bukan sekadar respons seremonial, melainkan bentuk pengakuan bahwa reformasi Polri tidak bisa lagi ditunda. Kehadiran tokoh lintas agama dan masyarakat sipil seperti Sinta Nuriyah Wahid, Quraish Shihab, dan Frans Magnis Suseno memberi legitimasi moral bahwa gagasan ini lahir dari keresahan publik yang luas, bukan hanya wacana elitis.

Analisisnya, jika komisi ini dijalankan dengan independensi nyata, ia dapat menjadi jembatan antara aspirasi rakyat dan negara, sekaligus memutus warisan budaya represif yang terus melekat di tubuh Polri.

Namun tantangan mendasarnya justru terletak pada bagaimana komisi ini diinstitusionalisasi. Pengalaman sebelumnya menunjukkan lembaga pengawas eksternal saat ini cenderung lemah karena hanya memiliki fungsi konsultatif.

Maka, bila komisi reformasi Polri yang baru hanya berhenti sebagai forum rekomendasi, risiko terjebak pada jebakan demokrasi kembali menguat. Lebih jauh, Polri tampak demokratis dalam wacana, tetapi tetap superbody tanpa kontrol. Pura-pura Demokrasi.

Tabik!

Artikel ini ditulis oleh:

Andry Haryanto

Prabowo Setujui Pembentukan Komisi Reformasi Kepolisian

Presiden Prabowo Subianto akhirnya memberi lampu hijau atas gagasan pembentukan tim khusus reformasi kepolisian. Persetujuan itu muncul setelah dirinya berdialog hampir tiga jam bersama para tokoh Gerakan Nurani Bangsa (GNB) di Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (11/9/2025) sore hingga malam.

Pertemuan yang berlangsung sejak pukul 16.30 hingga 19.55 WIB itu menghadirkan sejumlah figur lintas agama dan masyarakat sipil, antara lain Sinta Nuriyah Wahid, Quraish Shihab, Frans Magnis Suseno, Lukman Hakim Saifuddin, Komaruddin Hidayat, Omi Komaria Nurcholish Madjid, serta Laode Syarif.

Usai pertemuan, eks Ketua Umum PGI Gomar Gultom menuturkan bahwa usulan para tokoh mengenai perlunya evaluasi menyeluruh terhadap institusi kepolisian ternyata sejalan dengan rencana Prabowo.

“Apa yang disampaikan para sahabat ini ternyata sudah ada dalam konsep Presiden. Jadi istilahnya gayung bersambut,” ujarnya.

Selain soal reformasi, pembahasan juga menyinggung kebutuhan membentuk tim investigasi independen untuk menelusuri dinamika pasca unjuk rasa.

Mantan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengungkapkan, Presiden menerima aspirasi itu dengan serius dan menelaah setiap masukan yang dibawa delegasi GNB.

“Bapak Presiden bahkan menanggapi secara detail, poin demi poin, dari tuntutan masyarakat sipil, mahasiswa, dan organisasi lain. Beliau tidak hanya mendengar, tapi juga memberi respons yang konkret,” kata Lukman.

Dalam pertemuan tersebut, para tokoh turut menekankan pentingnya pesan kebangsaan serta mengingatkan kembali soal aspirasi rakyat yang tertuang dalam 17+8 butir tuntutan.

Presiden, menurut mereka, merespons dengan positif dan berkomitmen untuk menjadikannya acuan dalam langkah reformasi, terutama di sektor kepolisian.

Artikel ini ditulis oleh:

Andry Haryanto

Berduka untuk Banjir Bali, Eddy Soeparno: Dampak Krisis Iklim Semakin Nyata

Wakil Ketua MPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN), Eddy Soeparno. Aktual/DOK MPR RI

Jakarta, aktual.com – Wakil Ketua MPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN), Eddy Soeparno, menyampaikan dukacita atas musibah banjir besar yang melanda warga Bali.

“Turut berduka atas musibah banjir yang melanda warga Bali. Kami juga sampaikan dukacita untuk warga yang meninggal dunia dan terluka akibat musibah ini.

Semoga banjir segera surut dan tertangani dengan baik dan cepat,” lanjutnya.

Eddy menyampaikan, musibah banjir Bali ini juga menjadi pengingat bahwa dampak krisis iklim semakin nyata dan memberikan kerugian material bagi warga masyarakat.

“Hujan terus-menerus dan hampir tidak ada kemarau adalah anomali iklim yang terjadi di Indonesia saat ini. Dampaknya mulai dari siklus tanam dan panen beberapa komoditas yang tidak teratur sampai dengan banjir dan musibah yang terjadi di Bali saat ini,” lanjutnya.

Doktor Ilmu Politik UI ini mendorong pemerintah pusat dan pemerintah daerah memberikan perhatian penuh pada dampak krisis iklim bagi warga masyarakat yang terdampak.

“Berikan perhatian penuh pada kelestarian lingkungan dan pastikan bahwa pembangunan dilakukan berdasarkan, salah satunya, asas berkelanjutan sesuai Pasal 33 Ayat (4) UUD 1945.”

“Sebagai pribadi yang tidak henti-hentinya memperjuangkan mitigasi terhadap krisis iklim yang tengah kita hadapi, saya mengajak masyarakat untuk turut berperan dalam menjaga lingkungan, paling tidak di sekitar wilayah domisilinya,” tegasnya.

Secara khusus, Waketum PAN ini juga mengapresiasi respons cepat Presiden Prabowo yang langsung memerintahkan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) untuk melakukan evakuasi dan penyelamatan bagi korban yang terdampak.

“Semoga banjir dan musibah segera berlalu dan Bali kembali pulih. Kita berharap Bali terus menjadi tujuan utama wisata warga dunia dengan menerapkan eco-tourism atau pembangunan pariwisata yang berkelanjutan,” tutup Eddy.

Seleksi 17 Calon Wakil Tuhan di DPR Momentum Perbaikan Peradilan

Jakarta, aktual.com – Seleksi calon Hakim Agung yang sedang berlangsung di Komisi III DPR RI, harus menjadi momentum mendorong perbaikan peradilan kita. Seleksi bukan seremoni tetapi forum untuk memastikan para Wakil Tuhan pada peradilan tertinggi selain memiliki kompetensi tetapi berintegritas

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Pancasila (UP) Agus Surono berharap uji kelayakan dan kepatutan dijadikan pegangan anggota DPR untuk mengembalikan Mahkamah Agung (MA) ke khitah yakni menjadi peradilan yang agung dan merdeka. Seleksi bukan forum lobi-lobi dan memuluskan jalan orang-orang titipan.

“Mestinya (seleksi hakim agung) menjadi momentum bagi insan peradilan untik mengembalikan MA ke khitah. Bukan hanya kompetensi (DPR) perlu melihat integritas para calon Hakim Agung,” kata Agus, di Jakarta, Kamis (11/9).

Baca juga:

DPR Terima Nama Calon Hakim Agung dari KY

Seleksi calon Hakim Agung berlangsung selama 10-11 September dan dilanjutkan kembali pada Selasa (16/9) sekaligus pleno penetapan calon terpilih. Komisi III DPR RI telah menerima 13 calon hakim agung dan 3 calon hakim ad hoc HAM dari Komisi Yudisial (KY).

Sementara MA membutuhkan 17 Hakim Agung untuk mengisi kamar pidana, perdata, agama, kamar tata usaha negara, kamar militer, kamar TUN khusus pajak dan ad hoc HAM.

MA didera persoalan serius setelah terungkap kasus mafia hukum Zarof Ricar serta penangkapan kepada hakim-hakim yang memvonis lepas korporasi sawit. Mutasi yang dilakukan kepada para hakim-hakim di Jakarta belum cukup memastikan pembenahan para hakim berjalan optimal.

Baca Juga:

Ada Political Barrier Penuntasan Kasus Korupsi Kakap, Kejagung Jangan Nyerah

Agus menilai, pembenahan yang dilakukan sedang berproses. Namun perlu disadari pula proses yang berjalan tak semudah membalikan telapak tangan. “Saya melihat ada pembenahan di internal MA, tetapi memang tak segampang membalikan tangan,” ujarnya.

“Memang sedang berproses, tentu kita sebagai bagian dari civil society, akademisi, perlu mengingatkan hakim-hakim kita, mereka harus memiliki komitmen dan kompetensi. Dan jangan sampai hakim-hakim yang berprestasi malah tertutup karena ada kasus-kasus itu. Media juga harus memberi kesempatan kepada peradilan kita untuk kembali ke khitah,” sambungnya.

Baca Juga:

Legislator Dukung RUU Prampasan Aset: Kita Tidak Mau Mafia Mengangkangi Negara

Dirinya juga mengingatkan DPR menjalankan fungsinya dengan baik. Citra DPR yang terpuruk imbas serangkaian aksi demonstrasi sepatutnya dijadikan refleksi untuk membuktikan kinerja, salah satunya melalui momen seleksi calon hakim agung.

“Peristiwa kemarin di mana DPR didemo oleh masyarakat secara luas juga jadi momentum pembelajaran untuk DPR. Saya tidak optimistis tetapi tidak pesimistis. Saya yakin masih ada anggota DPR yang memilih calon hakim agung dengan cermat untuk membawa perbaikan pada peradilan kita,” kata Agus. (Erwin C. Sihombing)

Artikel ini ditulis oleh:

Eka Permadhi

Gerindra Sebut Mundurnya Saraswati Bukan Karena Ingin Jadi Menteri

Jakarta, aktual.com – Sekretaris Fraksi Gerindra DPR RI Bambang Hariyadi mengatakan Rahayu Saraswati mundur sebagai anggota DPR untuk menjadi menteri hanyalah isu dan spekulasi.

Dia mengatakan segala keputusan terkait kabinet merupakan hak prerogatif Presiden Prabowo Subianto, dan Fraksi Partai Gerindra tak mencampuri urusan Kepala Negara tersebut.

“Sebuah isu kalau tidak tahu narasumbernya itu namanya gosip, kan. Kalau di Islam, gibah. Jadi tidak perlu kita bahas,” kata Bambang di kompleks parlemen, Jakarta, Kamis (11/9).

Selain karena sorotan dari netizen di media sosial, dia pun belum mengetahui alasan pribadi yang mengakibatkan Saraswati memilih untuk mundur.

Namun, dia pun menghormati keputusan dari keponakan Prabowo Subianto itu.

Dia menilai keputusan Saraswati untuk memundurkan diri dari DPR sudah melalui pertimbangan matang, baik dirinya maupun keluarganya.

Dari sisi fraksi, dia mengatakan bakal berkoordinasi dengan Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Gerindra untuk memproses mekanisme mundurnya Saraswati.

Menurut dia, keputusan terkait status kader merupakan kewenangan partai.

“Penempatan kader sebagai calon legislatif juga merupakan kewenangan partai politik, dan di dalam Undang-Undang Partai Politik maupun Undang-Undang Pemilu bahwa peserta pemilu adalah partai politik,” kata dia.

Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Rahayu Saraswati Djojohadikusumo menyatakan mundur sebagai anggota DPR RI karena memahami ada ungkapannya beberapa waktu lalu yang dinilai menyakiti banyak pihak.

Dia pun memohon maaf sebesar-besarnya atas ucapan dan kesalahannya tersebut. Adapun dia menyatakan pengunduran dirinya sebagai Anggota DPR RI melalui akun Instagram-nya @rahayusaraswati.

“Dengan ini, saya menyatakan pengunduran diri saya sebagai Anggota DPR RI kepada Fraksi Partai Gerindra,” kata Rahayu dalam unggahan video di akun Instagram-nya, Rabu (10/9).

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain

Berita Lain