Untuk itu, kata Fahri, secara teoritik pascaamendemen UUD tahun 1945 bahwa mekanisme ketatanegaraan telah berubah, baik secara paradigmatik maupun konstitusional, kelembagaan MPR tidak lagi bersifat hirarkis.

Artinya, kata Fahri, kelembagaan MPR adalah setara atau sejajar dengan kelembagaan Presiden, sehingga konsekuensi ketatanegaraannya adalah tidak tepat jika MPR melakukan tindakan melantik atau melantik Presiden, seperti waktu Indonesia masih menganut paham supremasi MPR sebelum amandemen konstitusi.

“Sesungguhnya MPR hanyalah menyaksikan pengucapan sumpah jabatan presiden dan wakil presiden sebagaimana telah ditentukan secara limitatif oleh konstitusi,” tambah Fahri.

Dengan demikian, menurut Fahri, ke depan menjadi tugas konstitusional DPR untuk meninjau dan meluruskan konsep sumpah jabatan presiden ini dengan melakukan revisi atas ketentuan pasal 33 UU No.17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD.

“Ini agar sejalan dan sebangun dengan spirit rumusan ketentuan pasal 9 ayat (1) dan (2) UUD Tahun 1945, dan praktek ketatanegaraan kita menjadi liniear dengan sistem pemerintahan presidensial yang kita anut saat ini,” kata Fahri.

Artikel ini ditulis oleh: