Jakarta, Aktual.com – Pakar hukum tata negara Universitas Muslim Indonesia (UMI) Fahri Bachmid mengingatkan pemerintah, DPR, dan KPU RI untuk tidak memaksakan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (pilkada) pada tahun ini di tengah pandemi COVID-19.

“Pilkada serentak 9 Desember 2020 itu ditunda dan dapat dibenarkan secara kontitusi sesuai dengan prinsip hak asasi manusia sepanjang berkaitan dengan hak atas kesehatan,” kata Dr. Fahri Bachmid, S.H., M.H. melalui pernyataan tertulis yang diterima di Jakarta, Minggu (31/5).

Hal itu disampaikannya saat menjadi narasumber pada diskusi virtual bertajuk “Perpu dan Dampak Penundaan Pilkada di Tengah COVID-19”.

Sebagaimana diatur dalam Universal Declaration of Human Rights Tahun 1948, yakni Pasal 25 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas taraf hidup yang menjamin kesehatan dan kesejahteraan untuk dirinya dan keluarganya, termasuk pangan, pakaian, perumahan, dan perawatan kesehatan. Pengaturan tersebut sejalan dengan ketentuan Pasal 28H Ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.

Oleh karena itu, kata dia, secara konstitusional prinsip kesehatan adalah hak asasi warga negara atas kesehatan (human right to health) yang dijamin secara tegas dalam konstitusi, dan segala kebijakan negara dalam situasi apa pun penyelenggara negara mutlak memedomani sebagai instrumen fundamental yang tidak dapat direduksi atas alasan dan keadaan apa pun.

Menurut Fahri, tidak tepat dan kondusif jika gelaran pesta demokrasi lokal itu dipaksakan di tengah pendemi COVID-19 meskipun Perppu Pilkada sudah dikeluarkan.

Fahri mengatakan bahwa pilkada serentak sebaiknya pada tahun 2021.

Ia lantas meminta pemerintah, DPR dan KPU RI menghentikan dan menunda seluruh tahapan Pilkada Serentak 2020.

Apabila pilkada ditunda sampai dengan tahun 2021, Fahri memastikan tidak ada persoalan serta implikasi yang bersifat ketatanegaraan maupun teknis administrasi dalam urusan penyelenggaraan pemerintahan yang melibatkan 270 daerah tersebut.

Hal itu berdasarkan instrumen hukum sesuai dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 1/2015 tentang Penetapan Perpu Nomor 1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota menjadi Undang-Undang, khususnya ketentuan Pasal 201 ayat (10) dan (11).

Pasal 201 Ayat (10) telah mengatur dengan cukup baik, kata dia, yakni untuk mengisi kekosongan jabatan gubernur, diangkat penjabat gubernur yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya sampai dengan pelantikan gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 201 Ayat (11), yakni untuk mengisi kekosongan jabatan bupati/wali kota, diangkat penjabat bupati/wali kota yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi pratama sampai dengan pelantikan bupati dan wali kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

“Artinya, UU telah menyediakan pranata penyelesaiannya jika keadaan habis masa jabatan kepala daerah, dan tidak akan pernah ada kekosongan kekuasaan di daerah,” katanya menandaskan.

Dengan demikian, kata dia, pelaksanaan pilkada pada tahun 2020 pada musim pendemi saat ini menjadi tidak urgen dan penting sehingga sebaiknya mengonsentrasikan seluruh sumber daya nasional yang ada saat ini untuk menyelesaikan COVID-19 beserta seluruh dampak bawaan lainnya.

“Pilkada merupakan agenda sekunder yang tidak wajib serta tidak strategis pada saat ini. Jadi, baiknya negara mengambil kebijakan untuk segala agenda dan tahapan Pilkada 2020 di-suspend sampai tahun 2021,” kata Fahri.

Narasumber lain pada diskusi tersebut adalah anggota KPU RI Viryan Azis, anggota Bawaslu RI Dr. Ratna Dewi Pettalolo, S.H., M.H., Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini, peneliti kepemiluan Dr. Ferry D. Liando, dan akademisi UIN Alauddin Makassar Dr. Syamsuddin Radjab, S.H., M.H.

 

Antara

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: As'ad Syamsul Abidin