“Yang paling menggelikan, E&Y menyebut Sri sukses menurunkan utang hingga 50%. Lha wong dalam dua tahun menjadi Menkeu, utang Indonesia justru bertambah US$22 miliar dari US$154 miliar pada 2016 menjadi US$176 miliar di awal 2018. Ini kan superngawur,” jelas Edy.

Dradjad H Wibowo, Ekonom Senior INDEF mengatakan lembaga Ernst & Young telah menjatuhkan kredibilitasnya sendiri. Pasalnya penghargaan itu seperti ibarat perbedaan langit dan bumi, tidak relevan dengan kondisi perekonomian yang terjadi.

“Yang memberikan itu (penghargaan) adalah Ernst & Young, saya rasa itu akan mempengaruhi kredibilitas Ernst & Young. Saya tidak mau berkomentar banyak mengenai penghargaan terhadap bu Sri Mulyani, tapi saya rasa Ernst & Young sekarang dipertanyakan kredibilitasnya. Bisa dilihat tidak relevan dengan yang di lapangan,” kata Dradjad.

Secara sederhana Dradjad mengukur berhasil atau tidaknya pemerintahan Jokowi-JK dalam 3 tahun masa kepemimpinan, dilihat dari aspek penciptaan lapangan kerja. Poin ini dinilai sebagai muara dari perubahan ekonomi-politik dalam mengentaskan kemiskinan. Nyatanya dalam hal penciptaan lapangan kerja ini, 3 tahun Jokowi – JK tidak lebih baik dari masa kepemimpinan 3 tahun periode Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) – Boediono.

Rata-rata pertambahan penduduk bekerja di era Jokowi-JK sebesar 2.127.211 penduduk per tahun, sedangkan era SBY-Boediono sebesar 2.868.457. Rasio penciptaan kerja (RPK) era Jokowi-JK sebesar 426,297 penduduk per 1 persen pertumbuhan ekonomi, lebih rendah dari era SBY-Boediono sebesar 467.082 penduduk.

Gede Sandra, Peneliti Lingkar Studi Perjuangan, menelisik apa itu lembaga Ernst & Young. Sandra menemukan, sejak ajang penganugrahan itu dilakukan pertama kali pada 2016, lembaga itu dibantu oleh Thomson Reuters (sebuah perusahaan informasi keuangan yang terdaftar di Wallstreet) dalam melakukan seleksi nama menteri terbaik setiap tahunnya dari berbagai negara.

Berdasarkan penilaian dari Ernst & Young yang diterima oleh World Government Summit, menyebutkan bahwa SMI terpilih sebagai Menteri Terbaik di antara menteri di seluruh dunia pada 2018 ini. SMI dinilai berhasil menurunkan kemiskinan sebesar 40 persen.

“Saya tidak dapat melihat darimana angka 40 persen penurunan kemiskinan yang dimaksud World Government Summit untuk keberhasilan SMI ini. Lagipula, Dunia harus tahu bahwa standar kemiskinan Indonesia sangat rendah (kurang dari USD 1 perhari), setengah dari standar Dunia (kurang dari USD 2 perhari). Bila digunakan standar dunia, alhasil jumlah kemiskinan bisa meningkar 3-4 kali lipat dari nilai sekarang,” papar Sandra.

Selanjutnya Ernst & Young menilai, SMI berhasil mengurangi ketimpangan pendapatan. Dalam kasus ini ujar Sandra, memang harus diakui indeks ketimpangan bergerak turun, tapi hanya 0,03 persen. Angka pencapaian Menteri SMI itu tidak terlalu signifikan jika dibadingkan dengan capaian Menteri Keuangan sebelumnya, yakni Bambang Brodjonegoro. Pada era Bambang, ketimpangan berhasil turun sebesar 0,2 persen. Lagi pula, angka ketimpangan saat ini sekitar 0,39 masih sangat jauh dari standar indeks Gini Ratio negara-negara Welfare State yang sekitar 0,29.

Seharusnya ketimpangan ini bisa diturunkan lebih cepat karena didongkrak dengan kebijakan presiden Jokowi melakukan pembagian sertifikat tanah. Namun sayangnya pada sisi lain SMI menerapkan kebijakan pengetatan (austerity policy) pada masyarakat menengah ke bawah (pencabutan subsidi, penaikkan PNBP, pajak usaha kecil). Praktis hal demikian menghambat penurunan indeks Gini Ratio dan melemahkan daya beli serta daya saing.

Kemudian pada era SMI ini, utang Indonesia terus bertambah. Pada akhir tahun 2016, posisi utang Indonesia masih di level USD154 miliar. Namun pada 2018 ini, posisi utang pemerintah sudah bertambah USD22 miliar ke level USD176 miliar.

“Fakta terpentingnya, SMI adalah menteri keuangan terbaik di dunia bagi para investor pasar uang. Orang-orang terkaya dunia, para kelompok 1 persen penduduk terkaya yang mengusai mayoritas asset dunia, adalah para penguasa pasar uang dunia. Mereka adalah kelompok yang paling diuntungkan dari sistem neoliberalisme di Indonesia,” ujar Sandra.

Tidak berhenti di situ, Sandra juga mengulas kelayakan dari aspek integritas, dalam catatan hukum, SMI terseret-seret dalam beberapa kasus. Di antaranya Skandal Bank Century, Skandal Pajak Paulus Tumewu, Skandal Pajak Halliburton, hingga Skandal Yield Surat Utang.

“Kita ingat pada tahun 2010 SMI ‘diselamatkan’ Bank Dunia setelah divonis oleh DPR sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam Skandal Bank Century yang merugikan Negara Rp6,7 triliun. Dalam Skandal Pajak Paulus Tumewu, keterlibatan SMI atas disposisinya kepada Jaksa Agung untuk membebaskan Paulus Tumewu dari kasus pajak yang rugikan negara Rp399 miliar. Dalam Skandal Pajak Halliburton, SMI menyetujui permohonan Dirjen Pajak saat itu, Darmin Nasution, untuk mengurangi pembayaran pajak Halliburton hingga Rp21,7 miliar,” pungkasnya.

Selanjutnya, mantan Menteri Keuangan Chatib Basri….

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Eka