Jakarta, Aktual.com — Cendekiawan Muda Indonesia Yudi Latif menyebut sesungguhnya pengikut setia Presiden Ir Soekarno adalah kader-kader Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Bukan PDI Perjuangan, partai yang kini dipimpin putri Bung Karno yakni Megawati Soekarnoputri.

Pernyataan Yudi itu disampaikan di Djakarta Theater, Jakarta Pusat, Jumat (20/5) malam, sebagai kalimat pembuka orasi ilmiah pada pelantikan pengurus DPP PPP masa bhakti 2016-2020.

Mimiknya serius ketika mengucapkan itu. Megawati mendengarkan langsung pernyataan Yudi. Sekretaris Jenderal DPP PDIP Hasto Kristiyanto saksinya. Ada lagi, Ketum PAN Zulkifli Hasan, Ketum ICMI Jimly Asshiddiqie, Lukman Hakim Syaifuddin dan lainnya. Mega duduk dibarisan terdepan dalam acara tersebut.

“Kalau PDIP itu pura-pura mengikuti ajaran Bung Karno, tapi kalau PPP itu mengikuti ajaran Bung Karno sampai ke tingkat perilaku, cara berpakaiannya,” kata Yudi.

Kader-kader PPP yang memenuhi Gedung Djakarta Theater bergemuruh. Tepuk tangan menggema dari dalam gedung yang terletak di Kawasan Thamrin tersebut. Menyakitkan, terlebih PDIP disebut selama ini berpura-pura mengikuti ajaran Bung Karno.

Kenapa Yudi berani berkata demikian didepan Mega secara langsung? Ia menjelaskan sekelumit kisah bahwa PPP adalah pengikut setia ajaran Bung Karno. Begini kisahnya;

Presiden Pertama RI Ir Soekarno disampaikan sejak masa remaja sudah memikirkan pentingnya satu kekuatan yang menjadi perekat, penyatu, bagi seluruh rakyat Indonesia. Kekuatan yang pada akhirnya menjadi sumber hukum dasar nasional dan sumber dari segala sumber hukum di Indonesia.

“Jadi Bung Karno sering mengatakan begini ‘Saya itu sering memikirkan Pancasila sejak usia 17 tahun’,” ucap Yudi.

Di usia 17, Bung Karno masih menjalani kehidupannya di Surabaya, khususnya di Gang Paneleh. Di Kota Pahlawan itu, Bung Karno belajar politik dan agama sekaligus dari Raden Hadji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto.

Tokoh yang kemudian diakui sendiri oleh Bung Karno sebagai mentor politik sekaligus guru agamanya. Di Surabaya, Sang Proklamator saat itu selain belajar, aktif berorganisasi, juga mengisi waktunya dengan bergelut di dunia penulisan. Yakni dengan menjadi editor Majalah Pembela Islam.

“Sekali waktu dalam pertemuan Jong Java di Surabaya, ketika itu para pemuda sepakat bahwa pertemuan berikutnya mereka akan menggunakan uniform yang modern. Pengertian modern waktu itu berarti berbaju kebarat-baratan,” terang Yudi.

Bung Karno terperanjat. Sebab pada waktu itu kebanyakan orang Indonesia mengenakan pakaian sehari-hari berupa sarung dan blankon. Mengapa cara berpakaian sampai harus dimodernisasi, harus necis dan berdasi.

Dalam pikiran Bung Karno, menjadi modern tidak seharusnya mengalami modernisasi. Menjadi modern tidak harus tercerabut dari akar-akar tradisi kita sendiri. Lalu, ia memutuskan untuk memberikan pelajaran terhadap rekan-rekannya di Jong Java. Organisasi yang sebelumnya bernama Tri Koro Darmo.

Diingat-ingat bagaimana sebagian besar rakyat Indonesia waktu itu cara berpakaiannya menggunakan penutup kepala. Dari tukang becak hingga dalang. Semua menutup kepala sebagai, atribut yang dinilai Bung Karno sebagai tradisi masyarakat kebanyakan.

“Dalam pertemuan Jong Java berikutnya, dia kemudian sambil mengendap-endap memakai peci dan memastikan semua orang pengurusnya masuk dulu ke dalam ruangan. Setelah masuk ruangan, diam-diam beliau masuk dan langsung berdiri dan dia katakan ‘Inilah pakaian tradisi Indonesia’,” beber Yudi.

Pelajaran dari Bung Karno itu adalah bahwa calon pemimpin bangsa dan atau pemimpin bangsa itu tidak boleh tercerabut dari akar-akar kerohanian dan tradisi bangsa sendiri. Sebab jika tercerabut dari akar dan tradisi kita sendiri, sama saja tidak pernah hidup di alam kebatinan rakyat Indonesia.

“Jadi kenapa saya katakan begitu, karena PPP ini lebih sering pakai peci ketimbang orang-orang PDIP. Siapa saja yang mengenakan peci hitam ini tidak bisa tidak harus mereka berterimakasih kepada Bung Karno. Karena yang mempopulerkan peci hitam itu adalah Presiden Sukarno,” demikian Yudi Latif.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Nebby