Ketua Komisi IX Dede Yusuf saat diskusi polemik dengan tema "Di Balik Serbuan Warga Asing' di Jakarta, Sabtu (24/12/2016).

Jakarta, Aktual.com – Ketua Komisi IX DPR RI Dede Yusuf menilai pemerintah harus mengembalikan pengaturan tenaga kerja asing (TKA) ke Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 16 Tahun 2015.

Pasalnya, peraturan menteri tersebut dinilai lebih memberikan rasa adil bagi pekerja dalam negeri ketimbang Permen yang diubah, yakni Peraturan Menteri Nomor 35 Tahun 2015.

“Dulu ada Permen Nomor 16, dicabut ganti Permen 35, bahwa tidak perlu lagi 1 TKA didampingi 10 tenaga lokal. Artinya hilanglah 10 tenaga kerja lokal, bila TKA semakin banyak. Nah ini tidak fair,” ujar Dede di Warung Daun, Cikini, Jakarta, Sabtu (24/12).

“Kalau dulu 1 TKA maka perusahaan harus menyediakan 10 lapangan kerja untuk tenaga kerja lokal. Misinya, agar terjadi transfer of technologi,” tambahnya.

Lebih lanjut, Dede mengatakan, Komisi IX DPR RI mendukung pemerintah dalam meningkatkan investasi dan kerjasama dengan asing. Namun dalam pelaksanaan pengerjaannya, pemerintah diminta berpihak pada pekerja lokal. Salah satunya, mengembalikan pengaturan ke Permen Nomor 16 Tahun 2015.

“Yang jadi pertanyaan masyarakat kan, kok tukang pasir orang China ? Kita enggak masalah sama investasi. Tapi balik aja ke Permen 16. Jadi kan berimbang,” tegas Politisi Partai Demokrat ini

“Menurut kami permen 16 ini dikembalikan. Jadi, misal ada 100ribu pekerja, maka 1 pekerja asing banding 10 pekerja lokal (1:10) Pekerja lokal harus diikutsertakan. Jadi berimbang,” sambungnya lagi.

Dede menegaskan kembali, bahwa DPR sama sekali tidak menolak investasi dan pekerja asing. “Tapi itu tadi yang jadi hak pekerja kita jangan diborong,” cetus dia.

Kedua, pemerintah juga harus menegaskan kembali bahwa pekerja asing yang bekerja di Indonesia wajib menggunakan bahasa nasional. Sebab, akan berbahaya bila penggunaan bahasa asing diterapkan dalam zona pekerja Indonesia.

“Kan dicabut juga peraturan tersebut. Jadi kalau ke daerah investasi asing terutama Tiongkok, itu enggak ada yang gunakan bahasa Indonesia dan Inggris, semua bahasa Cina, tulisannya juga. Waktu itu ada beberapa DPD datang kesana minta dirubah harus ada bahasa Indonesia nya. Bayangkan kabel-kabel tegangan tinggi segala macam, pekerja kita enggak bisa baca kan bahaya. Maka waspada dengan hal itu,” jelas Legislator asal Jawa Barat ini.

Apalagi, sambung Dede, saat ini para pekerja asing tersebut sudah berani mengibarkan bendera negara nya. Bahkan, ada yang membangun rumah-rumah kecil dihutan. Karenanya, pemerintah jangan menganggap enteng permasalahan tersebut.

“Bisa jadi mereka membentuk koloni, kan gawat ! Tukang masak nya mereka juga. Ini perlu disadari jangan sampai ini dianggap enggak ada apa-apa,” tegas Dede.

Untuk diketahui, Pada 23 Oktober 2015 lalu, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans) menerbitkan aturan baru terkait tata cara penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA) di Indonesia yaitu Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 35 Tahun 2015 (“Permenaker 35/2015”).

Permenaker 35/2015 ini menghilangkan, menambah, dan mengubah beberapa pasal dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 16 Tahun 2015 (“Permenaker 16/2015”).

Keluarnya Permenaker 35/2015 ini menimbulkan polemik setidaknya terkait 2 (dua) hal. Pertama, Permenaker 35/2015 ini dikeluarkan saat Permenaker 16/2015 baru mulai dirasakan efektif implementasinya di lapangan. Permenaker 16/2015 baru efektif 3 (tiga) bulan setelah diterbitkan.

Permenaker 35/2015 ini dikhawatirkan menimbulkan kebingungan di lapangan, terutama pada aplikasi permohonan RPTKA (Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing) dan IMTA (Izin Memperkerjakan Tenaga Kerja Asing) yang baru masuk pada periode antara September dan Oktober.

Kedua, polemik yang timbul dari hilangnya, bertambahnya, dan berubahnya beberapa pasal dalam Permenaker 16/2015. Salah satunya, yakni Penghapusan Rasio Jumlah TKA Dengan Tenaga Kerja Lokal
Dalam Pasal 3 Permenaker 16/20015 diatur bahwa perusahaan yang mempekerjakan 1 (satu) orang TKA harus dapat menyerap sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) orang tenaga kerja lokal pada perusahaan yang sama.

Memang ada pengecualian atas rasio ini jika TKA tersebut akan dipekerjakan untuk posisi tertentu, untuk pekerjaan yang sifatnya darurat dan mendesak, untuk pekerjaan yang sifatnya sementara, dan/atau untuk usaha jasa impresariat.

Pasal 3 Permenaker 16/2015 ini dihapuskan oleh Permenaker 35/2015. Penghapusan pasal ini artinya menghapuskan aturan mengenai rasio jumlah TKA dengan tenaga kerja lokal.

Penghapusan dikhawatirkan menghilangkan kesempatan terjadinya alih pengetahuan dan alih teknologi dari TKA ke tenaga kerja lokal. Meskipun dalam Pasal 65 Permenaker 16/2015 disebutkan bahwa perusahaan pemberi kerja dapat menugaskan TKA untuk melakukan alih teknologi dan keahlian di lembaga pendidikan dan pelatihan, namun bisa jadi hal ini tidak dilaksanakan jika tidak diwajibkan secara jelas dalam peraturan perundang-undangan.

Apalagi saat ini keputusan Direktorat Jenderal yang mengatur mengenai pendampingan TKA oleh tenaga kerja lokal untuk alih teknologi dan keahlian belum diterbitkan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 66A Permenaker 35/2015.

Di sisi yang lain, penghapusan rasio ini memberikan kemudahan bagi perusahaan yang berbisnis di Indonesia untuk memperkerjakan TKA secara lebih murah karena tidak perlu memperkerjakan lebih banyak tenaga kerja lokal dan tidak adanya kewajiban melakukan pelatihan pada tenaga kerja lokal.[Nailin In Saroh]

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Andy Abdul Hamid