Jakarta, Aktual.com — Saat ini zaman semakin canggih dan perkembangan sistem ekonomi tumbuh dengan sangat cepat. Beragam cara ditawarkan oleh para Niagawan untuk bersaing menggaet hati para pelanggan atau konsumennya.

Di antara sistem yang saat ini terus dikembangkan adalah sistem kredit barang elektronik atau kendaraan. Yaitu cara menjual barang dengan pembayaran tidak tunai atau diangsur. Pertanyaannya, bagaimana tinjauan hukum Islam melihat sistem pembayaran kredit yang sedang marak di masyarakat Indonesia?

“Ini adalah sistem klasik, namun hingga kini terbukti masih menjadi trik yang sangat jitu untuk menjaring pasar. Dalam ilmu fiqih, akad jual beli ini lebih ‘familiar’ dengan istilah jual beli التَقْسيـْط (taqsith) yang berarti membagi atau menjadikan sesuatu beberapa bagian,” demikian kata Ustad Syarif Hidayatullah kepada Aktual.com, di Jakarta, Kamis (21/01).

Secara umum, jual beli dengan sistem kredit diperbolehkan oleh syariat Islam. Hal ini berdasarkan dalam beberapa dalil.

Allah SWT berfirman dalam Al Quran

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaknya kamu menuliskannya.”(Al-Baqarah : 282)

Hadis dari Aisyah radhiyallahu’anhu, menyebutkan,

اشْتَرَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ يَهُودِيٍّ طَعَامًا بِنَسِيئَةٍ، وَرَهَنَهُ دِرْعَهُ

Artinya: “Rasulullah SAW membeli sebagian bahan makanan dari seorang Yahudi dengan pembayaran dihutang dan Beliau juga menggadaikan perisai kepadanya.” (HR.Bukhori dan Muslim)

Dari kedua dalil yang ada tersebut, bisa disimpulkan bila melakukan akad kredit dibolehkan.

“Asalkan ada akad yang jelas atau perjanjian tertulis dan sama-sama tidak merugikan,” kata Ustad Syarif.

“Tapi ingat walaupun diperbolehkan tetap ada peraturannya, jika melewati atau sudah di luar peraturan itu tidak boleh karena bisa menjadi haram,” tutur ia menambahkan.

Tata cara kredit yang dibolehkan dalam Islam:

1.Objek jual beli bukan komoditi ribawi yang sejenis alat tukar.

Hadis Rasulullah SAW mengatakan,

الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ رباً إلا مِثْلًا بِمِثْلٍ ويَدًا بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الْأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَد

Artinya: “Menukarlah emas dengan emas, perak dengan perak, gandum burr dengan gandum burr, gandum sya’ir dengan gadum sya’ir, kurma dengan kurma dan garam dengan garam adalah termasuk akad riba, kecuali dengan dua syarat, sama ukurannya dan dilakukan secara tunai. Namun jika jenisnya berbeda (masih satu kelompok) maka tukarlah sekehendakmu dengan satu syarat, yaitu harus diserahkan secara tunai.”(HR.Muslim)

Maksud dari Hadis itu tidak diperbolehkan jual beli uang, valas, emas, atau alat tukar sejenisnya dengan cara kredit.

2. Hindari penundaan serah terima barang, karena merupakan praktik jual beli hutang dengan barang, yang atinya barang masih berada dalam tanggungan penjual dan uang pun juga masih berada dalam tanggungan pembeli.

3. Tidak boleh ada harga ganda (bunga) dalam jual beli kredit, karena ini termasuk riba.

Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an

وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا

Artinya : “Allah SWT telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (Al-Baqarah : 275)

Yang harus menjadi catatan penting dan perlu diperhatikan dalam akad jual beli kredit ada dua hal. Dan, ini jangan sampai Muslim lupakan yaitu:

1.Jika pembeli sudah menentukan pilihan harga, maka sebesar itulah jumlah uang yang berhak diambil oleh penjual. Pihak penjual tidak berhak untuk mengambil lebih sekali pun pembeli terlambat melunasi pembayaran.

2.Jika barang sudah berada di tangan pembeli dan kesepakatan harga juga disetujui, maka barang dagangan resmi jadi milik pembeli. Dengan demikian penjual tidak berhak menyita atau menarik barang dagangannya mskipun cicilan kredit belum selesai.

Artikel ini ditulis oleh: