Warga memperlihatkan uang‎ rupiah baru di pusat perbelanjaan Blok M Square, Jakarta Selatan, Senin (19/12). BI mengeluarkan satu seri uang Rupiah Tahun Emisi (TE) 2016 yang terdiri dari 7 (tujuh) pecahan uang Rupiah Kertas dan 4 (empat) pecahan uang Rupiah Logam dimana uang baru tersebut akan dilengkapi dengan unsur pengamanan yang lebih kuat untuk menanggulangi peredaran uang palsu. AKTUAL/Tino Oktaviano

Jakarta, Aktual.com – Bank Indonesia (BI) baru saja meluncurkan uang baru dalam semua pecahan, termasuk uang jenis koin. Namun sayangnya, uang-uang kartal yang luncurkan BI itu tak dijelaskan secara gamblang oleh pihak Bank Indonesia.

Untuk itu, menurut pengamat ekonomi politik Salamuddin Daeng, BI harus memberikan penjelasan secara terang-benderang ke publik terkait pencetakan uang baru yang kemarin diumumkan itu.

“Pertanyaan utamanya, apakah pencetakan uang baru ini untuk membiayai defisit APBN dan tidak tercapainya target pajak pemerintah tersebut? Hal-hal seperti itu tak dipaparkan ke publik,” kritik Daeng, dalam keterangan resmi yang diterima, di Jakarta, Rabu (21/12).

Selain itu, kata dia, publik juga ingin mengetahui seberapa banyak uang yang dicetak BI itu. Hingga kini publik masih belum puas dengan kebijakan pencetakan uang oleh BI itu. Banyak pertanyaan muncul, seperti, di mana uang tersebut dicetak? Apa dasar pencetakan uang tersebut,? Banyak yang mempertanyakan, mengapa uang baru ini memiliki kemiripan dengan mata uang China, yuan?

“Semua itu harus dijelaskan kepada masyarakat. Karena ini juga sekaligus mengkonfirmasi ke publik mengenai statemen Presiden Jokowi agar standar rupiah diukur dengan yuan. Apakah ini ada kaitannya atau tidak?” tanyanya dengan nada pasti.

Pasalnya, bagi dia, pencetakan uang adalah menyangkut ketahanan nasional, keamanan nasional, keselamatan bangsa, negara dan masyarakat. Termasuk juga pencetakan uang dalam jumlah tertentu harus jelas dasarnya.

“Karena jika asal cetak, maka akan memicu inflasi, menurunkan kepercayaan publik dan dunia internasional kepada mata uang rupiah itu sendiri,” tandas dia.

Apalagi disela-sela peluncuran uang baru tersebut, BI meminta dukungan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk memotong angka dalam mata uang atau disebut redenominasi. Tindakan itu justru akan semakin membuat publik ragu tentang nilai rupiah yang sebenarnya.

Selain itu, kata dia, sebelumnya juga muncul uang atas nama pemerintah Republik Indonesia, melengkapi uang yang sudah ada atas nama Bank Indonesia. Dengan kondisi itu, publik juga mempertanyakan siapa sebenarnya yang punya otoritas mencetak uang? Apakah pemerintah atau BI? Ini semua kini menjadi tidak jelas.

“Kalau dua duanya berhak mencetak uang, tentu ini sudah gawat. Nilai uang semakin tidak terkontrol,” kecamnya.

Padahal, kata dia, supremasi rupiah merupakan salah satu bentuk kedaualatan negara keuangan yang harus diperjuangkan. Sekarang ini dunia telah memasuki era electronic money (e-money), dimana banyak pihak telah mencetak uang sendiri-sendiri dan meninggalkan uang kertas yang dibuat oleh negara.

“Sehingga bisa jadi nantinya, uang rupiah dihancurkan untuk memperkuat posisi korporasi yang sudah mulai mengambil alih otoritas negara dengan e-money mereka,” pungkas dia.

(Busthomi)

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Eka