Jakarta, Aktual.com – Pasca digelar pemilihan kepala daerah, pimpinan baik di tingkat provinsi maupun kabupaten-kota termasuk di Provinsi Aceh tidak boleh merotasi atau mengganti pejabat di lingkungan pemerintahannya. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga stabilitas di daerah tersebut.

Bahkan, Jika ada yang mengganti pejabat tersebut,  sesuai aturan harus ada campur tangan pemerintah. Jika tidak mengikuti mekanisme dan UU Aparatur Sipil Negara maka keputusan mutasi tersebut bisa dibatalkan melalui Komisi Aparatur Sipil Negara.

“Bisa dibatalkan karena sesungguhnya proses mutasi dan rotasi  meski dengan cara seperti yang diatur misalnya oleh Kemempan RB,” ujar Pengamat Hukum Tata Negara Universitas Parahyangan Asep Warlan Yusuf saat dihubungi wartawan, Kamis (23/3).

Sebelum digelar mutasi pejabat, lamjut dia, prosedur seperti lelang jabatan, proses test, wawancara, pengujian, lalu pembentukan tim seleksi harus dilakukan. “Jadi tidak bisa diganti seenaknya begitu saja.”

Dia menilai, apa yang disampaikan Gubernur Zaini Abdullah terkait Presiden Jokowi saja tidak bisa membatalkan keputusannya memutasi pejabat di lingkungan pemprov Aceh merupakan tindakan yang tidak bisa dibenarkan.

“Dalam konteks kepegawaian ada hirarki ada kewenangan-kewenangan presiden lewat kementerian, KASN bisa intervensi  pada proses pengisian jabatan, rotasi mutasi dan demosi pejabat.  UU ASN kan mengamanatkan itu, jadi tidak bisa sembarangan, bisa dibatalkan oleh KASN itu.”

Kata Asep, jika Gubernur Aceh Zaini Abdullah ngotot memakai UUPA dalam melakukan pembelaannya terkait dengan mutasi pejabat Aceh tersebut, tetapi proses pengisian jabatan jabatan itu tetap mengacu kepada UU ASN karena pembinaan sumber daya manusia itu tetap ada di pusat.

Sementara itu pengamat politik Pangi Chaniago menilai ada motif tertentu Gubernur Aceh Zaini Abdullah, yang merotasi pejabat dilingkungan pemprov Aceh di penghujung kekuasaannya.

Sebab, selai kalah di Pilkada, undang-undang yang ada tidak memperbolehkan kepala daerah untuk merotasi pejabat sampai pelaksanaan Pilkada dianggap selesai.

“Ini orang sudah kalah dalam Pilkada masih ada motivasi merotasi dan mengutak-ngatik birokrasi,ini tentu ada motif,” ujar dia.

Menurut Pangi, motif tersebut lebih cenderung kepada kepentingan pribadi bahkan patut diduga ada transaksional. “Ini bisa dikatakan ada politik pragmatis. Harusnya tidak boleh terjadi, Negara (pemerintah pusat-red) harus memberikan sanksi kepada pejabat yang sesuka hati memindahkan orang untuk kepentingan pribadi dia.”

Artikel ini ditulis oleh:

Reporter: Antara
Editor: Wisnu