Ilustrasi penjual minyak goreng

Jakarta, Aktual.com – Menteri Perdaganan M Lutfi di depan DPR Komisi VI pada hari Senin (31/1/2022), akhirnya mengakui bahwa harga minyak goreng yang tak wajar saat ini akibat ulah Pemerintah sendiri yaitu menjalankan program B30.

Padahal sebelumnya pada 23 Desember 2019 Presiden Jokowi pada program pencananganan B30 di SPBU Pertamina MT Haryono Jakarta menegaskan, “Tadi saya sudah perintahkan Menteri dan Dirut Pertamina untuk tahun depan kita masuk ke B40 dan B50 pada awal tahun 2021”.

Desakan penggunan FAME dari B20 ke B30 dan segera realisasikan menjadi B50 saat itu terkesan kental lebih ingin menyelamatkan industri sawit yang terseok-seok akibat diboikot oleh Uni Eropa, daripada pengembangan program biodiesel yang benar.

Direktur Eksekutif CERI Yusri Usman menyebutkan tidak ada satupun negara di dunia ini melakukan program biodiesel menggunakan FAME lebih dari 10%, selain ada faktor keekonomian, penggunaan FAME melebihi 10% berpotensi terjadi kendala teknis, menyebabkan konsumen sering mengganti filter solar dan pada suhu rendah bisa terjadi pembekuan.

Selain itu, sejak tahun 2015 hingga hari ini, tak kurang Rp100 triliun dari pungutan eksport sawit oleh BPDPKS telah digelontorkan kepada produsen FAME untuk menjaga harga biosolar (B30) ekonomis di SPBU Pertamina.

Seharusnya kata Yusri Pertamina mengembangkan program biodisel hingga B100, bukan menggunakan FAME yang berasal dari bahan baku CPO, banyak tehnologi bisa mengolah bahan baku tak berharga menjadi greendiesel standar Euro 5.

“Pertamina hanya beli FAME untuk B100 non subsidi yang berbahan baku dari ; minyak goreng bekas, CPO asam tinggi, minyak rumput (seaweed oil), lemak sapi dll. Sehingga pemilik pabrik biodiesel bisa meng-upgrade pabriknya supaya bisa mengolah macam-macam minyak,” tambahnya kepada wartawan di Jakarta, Selasa (1/2).

Maka kata Yusri, secara otomatis akan tumbuh UKM untuk melakukan pengumpulan minyak goreng bekas tukar tambah dengan minyak goreng baru dan emak-emak akan dapat tambahan pendapatan. Lingkungan hidup akan terjaga dari pencemaran minyak jelantah.

“Sehingga BUMDES, UKM, pemilik tambak dan nelayan akan menanam rumput laut untuk di press jadi minyak bahan baku FAME atau B100 (seperti Neste oil).”

“Singapore tak punya bahan baku saja sudah bisa bangun industri biodisel sejak tahun 2010 dengan kapasitas produksi 800.000 ton pertahun menggunakan bahan baku lemak sapi diimpor dari Australia, mengapa kita harus selalu kalah,” pungkasnya.

PRIMA: Ada Praktik Oligarki Di balik Naiknya Harga Minyak Goreng

Sementara itu Partai Rakyat Adil Makmur (PRIMA) mensinyalir adanya praktik oligarki di balik kenaikan harga minyak goreng yang sekarang terjadi di hampir seluruh di Indonesia.

Untuk diketahui, belakangan ini harga minyak goreng di pasaran melonjak drastis. Di beberapa wilayah, harga minyak goreng sampai menyentuh Rp20.000 per liter, padahal sebelumnya harganya hanya sekira Rp11.000 hingga Rp13.000 per liter.

Tingginya harga minyak goreng tersebut dipicu oleh kenaikan harga kelapa sawit mentah (Crude Palm Oil) di pasar internasional sehingga para pengusaha sawit menggunakan kesempatan itu untuk menaikkan harga minyak goreng di dalam negeri.

Wakil Ketua Umum PRIMA Bidang Kesejahteraan Rakyat, Wahida Baharuddin Upa mengungkapkan, Kebijakan menaikkan harga minyak goreng yang disesuaikan dengan harga kelapa sawit di pasar internasional merupakan bagian dari praktik kartel. Para pengusaha ingin mendapatkan keuntungan yang besar meski pasokan bahan bakunya masih melimpah.

“Sepanjang tahun 2021 saja produksi kelapa sawit mencapai 46,88 juta ton. Bahkan, bisa dibilang Indonesia merupakan negara penghasil kelapa sawit terbesar di dunia,” ungkap dia dalam keterangan tertulis di Jakarta, Senin (31/1).

Wahida menjelaskan, sebagian besar produksi kelapa sawit nasional juga diekspor ke luar negeri. Pada tahun 2021 kemarin, volume ekspor CPO mencapai 34,2 juta ton.

“Artinya, 72,9 persen produksi CPO nasional di bawa ke luar negeri,” kata perempuan yang juga Ketua Umum Serikat Rakyat Mandiri Indonesia (SRMI) itu.

Tidak hanya itu, lanjut Wahida, saat ini setidaknya 40 persen pangsa pasar minyak goreng Indonesia dikuasai oleh 4 perusahaan besar. Mereka juga merupakan konglomerat penguasa sawit yang memiliki usaha perkebunan sekaligus industri pengolahan produk turunan seperti biodiesel, margarin dan minyak goreng.

“Ini berarti, sektor perkebunan kelapa sawit dan produksi turunannya seperti minyak goreng hanya dikuasai dan dikontrol oleh segelintir orang,” tukasnya.

Ia juga menyoroti upaya pemberian subsidi yang dilakukan oleh pemerintah. Menurutnya, kebijakan itu sebenarnya hanya menyentuh permukaan saja, tanpa merubah inti persoalan. Pemerintah juga telah masuk dalam jerat praktik oligarki yang dilakukan oleh sekelompok konglomerat super kaya.

“Subsidi seolah-olah untuk kepentingan rakyat, kenyataannya, yang untung lagi-lagi adalah para produsen besar minyak goreng,” paparnya.

Memang benar, dalam upaya untuk menekan tingginya harga minyak goreng, pemerintah menggelontorkan subsidi harga mencapai Rp. 3,6 triliun melalui perusahaan minyak goreng. Pemerintah melibatkan 70 industri minyak goreng dan ditahap awal, setidaknya terdapat sekira 5 industri yang akan menyiapkan minyak goreng kemasan sederhana.

Oleh sebab itu, Wahida mendorong kepada pemerintah untuk merombak seluruh pengaturan dari hulu sampai hilir. Dari sektor hulu, perkebunan kelapa sawit harus dikuasai oleh negara sepenuhnya, selain itu pemerintah juga harus menghidupkan kembali perkebunan-perkebunan rakyat.

Sementara untuk sektor hilir, pemerintah sudah seharusnya mulai menghidupkan kembali pengelolaan usaha yang dilakukan secara mandiri oleh rakyat dalam bentuk koperasi atau badan usaha lain.

“Tentu saja dengan modernisasi manajerialnya. Sehingga kelompok usaha rakyat ini bisa melawan dominasi para kartel yang menguasai pasar,” pungkasnya.