Jakarta, Aktual.com – Pada masa krisis, ada dua jenis manusia: mereka yang tetap optimistis dan mereka yang cenderung pesimistis, yang terpantul dari pernyataan-pernyataan mereka.

Pandemi corona sudah memasuki bulan ke-10. Secara umum, gambaran kehidupan masyarakat boleh dibilang muram, terutama bagi mereka–anggota keluarga, orang terdekat–yang menjadi korban langsung virus.

Korban tak langsung–yang boleh jadi efeknya lebih memilukan–adalah kelompok rentan yang kehilangan nafkah. Lebih mengenaskan lagi adalah anak-anak dari kelompok rentan ini. Mereka yang berusia balita, yang mestinya memperoleh asupan bergizi, pelan-pelan harus hidup dalam situasi yang makin menyedihkan.

Dari situasi inilah muncul kearifan dari para pakar ekonomi yang pada masa normal berteriak bahwa bantuan tunai itu tak mendidik. Kini, seruan mereka bahkan cenderung berlawanan: bahwa pemerintah harus mengucurkan bantuan itu, dengan jumlah lebih besar dibanding bantuan saat normal, untuk menjaga daya beli masyarakat.

Kebijakan memberikan bantuan tunai kepada warga yang terdampak pandemi ternyata universal, bukan hanya dilakukan oleh negara-negara berkembang dan terbelakang, melainkan juga oleh negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Jepang. Maka, di sini pun para pengamat ekonomi dan politik tak lagi berdebat soal pentingnya memberikan kail, bukan ikan, kepada kaum terdampak krisis.

Krisis yang bersifat global memunculkan perspektif yang lebih rasional dalam memandang kebijakan politik yang diambil pemerintah. Artinya, saat ini bukan momentum untuk mencerca pilihan sulit yang harus diambil pemerintah. Ada kesadaran atas ancaman krisis besar yang menghantui setiap orang. Problem riil politik kini bukan lagi persoalan polarisasi pemerintah dan pengkritiknya.

Dari sudut pandang mereka yang berada di luar kekuasaan, masalah politik–untuk sementara–bukan lagi tertumpu pada usaha mendistraksi atau menghalangi strategi pemegang kekuasaan mengonsolidasikan kekuasaan mereka untuk sintas melewati pemilu yang akan datang.

Persoalan esensial politik saat ini bergeser ke persoalan mati hidup individual. Fenomena korban kematian akibat corona dari kalangan pejabat, petugas medis mengukuhkan kesadaran banyak orang–termasuk oposan–bahwa krisis kesehatan global ini tak layak dijadikan komoditas politik. Tapi pandangan semacam ini jelas normatif.

Fakta di negara maju seperti Amerika Serikat, yang akan menyelenggarakan pilpres 3 November, memperlihatkan bahwa isu COVID-19 justru menjadi tema kampanye cukup panas.

Di sinilah kesanggupan warga dalam menalar persoalan sangat dibutuhkan. Publik dituntut mampu berpikir tentang sampai batas-batas mana isu corona memang merupakan isu politik. Yang mau dikatakan di sini, secara simpel adalah sebuah ajakan untuk berefleksi: perlukah sebuah pemerintahan divonis fatal hanya dari segi penanganannya terhadap krisis yang diakibatkan corona?

Sebagai sumber krisis yang mengancam nyawa setiap warga, corona tak patut dijadikan mitra bersekongkol untuk menjatuhkan, atau sedikitnya menggoyang, kubu pengendali kekuasaan.

Jadi isu sentral politik saat pandemi ini adalah penyelamatan nyawa per individu. Para politikus, baik yang duduk di pemerintahan maupun yang di luarnya, tentulah gentar melewatkan hari-harinya saat ini, terutama mereka yang berumur di atas setengah abad, yang konon menjadi korban empuk virus corona.

Yah, kini nyawa setiap orang jadi pertaruhan. Perantara sumber pembunuhnya bisa lewat siapa saja. Ironisnya: orang terdekatlah yang paling mungkin “mengantar” korban ke pemakaman. Inilah soalnya.

Maka, yang dibutuhkan saat ini adalah realisasi kesepakatan imperatif yang dikeluarkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang diterima semua pemerintah di dunia mengenai protokol kesehatan.

Hingga saat ini, masih banyak orang yang melanggar protokol kesehatan itu. Fenomena banyaknya orang beramai-ramai di jalanan, di pasar dalam kondisi berdesakan tanpa memedulikan protokol kesehatain jelas memprihatinkan.

Namun, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir memperlihatkan optimismenya bahwa masyarakat akan bisa diajak bekerja sama menghadapi krisis COVID-19 dengan menjalankan protokol kesehatan.

Optimisme ini didasarkan pada pengalamannya sebagai Ketua Panitia Pelaksana Asian Games 2018. Tingginya gairah dan kerelaan warga bersatu untuk menggapai satu impian bersama saat Asian Games bisa juga diwujudkan untuk bersama-sama melawan COVID-19.

Yang menjadi soal dalam perang melawan corona, yang tak jadi perkara dalam penyelenggaraan Asian Games, adalah faktor keyakinan. Di YouTube, ada video menggambarkan seorang pendeta yang meyakinkan jemaatnya bahwa corona tidak perlu ditakuti. Hanya Tuhan yang perlu ditakuti. Sang pendeta lalu merangkul jemaatnya seraya tergelak. (Dia menertawakan seruan protokol kesehatan).

Video yang diunggah youtuber lain memuat dai berkhotbah di masjid yang mengumandangkan pesan serupa bahwa hanya Tuhan yang perlu ditakuti. Corona tak perlu ditakuti.

Logika simplistis yang menabrakkan Tuhan versus corona jelas menggelikan. Namun, tak mustahil banyak orang yang termakan oleh pesan-pesan semacam itu.

Untunglah, pesan-pesan antiprotokol kesehatan itu “dilindas” oleh ratusan bahkan mungkin ribuan unggahan video yang selaras dengan ajakan WHO dan pemerintah.

Krisis corona bagi mereka yang berpikiran optimistis akan bisa diatasi dengan penemuan vaksin meskipun situasinya tak akan sama seperti era prapandemi. Bagi mereka yang pesimistis: corona bisa melahirkan petaka politik, bahkan bencana kemanusiaan.

Terlepas di pihak mana Anda menggolongkan diri, pilihannya saat ini cuma satu: berpartisipasi dalam penyelamatan nyawa. Itulah soal sentral politik saat ini.

Persoalan sentral seperti ini setidaknya bisa diatasi dengan pendekatan antidikotomis: menghilangkan batas-batas dikotomis antara yang berkuasa dan yang di luarnya, antara pemerintah dan yang diperintah. Tentu realisasi pendekatan ini harus dipahami sebatas pada perang bersama melawan pandemi. (Antara)

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: As'ad Syamsul Abidin