Buruh memanen padi di areal persawahan Tani Asli, Deli Serdang, Sumatra Utara, Jumat (6/5). Kementerian Pertanian mencanangkan gerakan percepatan tanam padi pascapanen guna meningkatkan produksi padi nasional. ANTARA FOTO/Irsan Mulyadi/kye/16

Jakarta, Aktual.com – Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) bahwa penyumbang inflasi pada Januari 2018 adalah tingginya harga beras. Inflasi awal tahun 2018 tercatat 0,62 persen.

Hal tersebut berdasarkan komponen pengeluaran bahan makanan yang tingkat inflasinya mencapai 2,34 persen dengan andil 0,48 persen.

Dari situ, harga beras andilnya 0,24 persen. Mengenai tingginya harga beras ini, disebabkan beberapa daerah kurang pasokan.

Ketua Umum Persatuan Pengusaha Penggilingan Beras dan Padi (Perpadi) Sutarto Alimoeso mengatakan, penyerapan gabah di penggilingan padi beberapa daerah sangat menurun pada akhir 2017 dan Januari 2018.

“Memang selama ini saat musim-musim paceklik yang masuk ke penggilingan padi mengalami penurunan. Tapi ini saya cross check dengan teman-teman penggilingan, ternyata tahun ini sebagian juga, bahkan sampai tidak bisa berproduksi,” kata Sutarto saat dihubungi, Jumat (2/2).

Selain penurunan suplai gabah, pengusaha penggilingan kecil yang memproduksi beras medium melihat kecenderungan harga padi yang mahal. Hal itu, kata Sutarto, juga menimpa perusahaan penggilingan padi yang besar.

“Saya cross check lagi dengan yang besar-besar, pemasok-pemasok di luar daerah maupun antarpulau. Mereka mengatakan, kami sebenarnya rugi pada bulan-bulan ini. Tapi karena dia menjaga langganan sehingga harus dipasok terus meskipun harga mahal,” kata Sutarto.

Selain penurunan produksi di penggilingan, mantan Kepala Bulog ini juga menilai, indikator ketahanan beras nasional dilihat dari stok yang ada di Bulog. Dia menilai, stok Bulog yang saat ini di bawah 700 ribu ton membuktikan adanya kesalahan dalam penyerapan beras.

“Sebenarnya kalau berdasarkan diskusi-diskusi dan survei, negara sebesar Indonesia itu sebenarnya harus mempunyai cadangan beras. Dulu disepakati harus mempunyai 1,5 juta ton. Sekarang kenapa bulog tidak bisa mencapai satu juta ton?” kata dia.

Sutarto melihat, ada dua potensi kekurangan stok beras di Bulog. Pertama karena Bulog lambat menyerap beras saat panen raya atau memang pasar sangat membutuhkan beras sehingga stok tergerus.

Namun demikian, dia menekankan, Bulog bisa saja melakukan penyerapan dengan cepat jika produksi padi nasional tercukupi.

Terlebih Kementerian Pertanian, kata dia, lewat pemberitaan selalu menyatakan panen dan tanam setiap hari.

“Produksi hari itu kan juga dipasarkan hari berikutnya untuk ngisi pasar dulu. Itu tidak benar jika Bulog kalah bersaing. Bulog bukan untuk bersaing, tapi untuk mengisi pasar,” kata dia.

Mengenai klaim stok beras nasional aman, Sutarto meragukannya. Sebab, pada Januari 2018, harga beras di tingkat penggilingan, eceran, dan grosir naik.

Harga beras medium di tingkat penggilingan pada Januari 2018 sebesar Rp 10.177 per kg, meningkat 6,83 persen dari Desember 2017 sebesar Rp 9.526.

Harga beras premium di tingkat penggilingan pada Januari 2018 sebesar Rp 10.350 per kg meningkat 4,96 persen dari Desember 2017 sebesar Rp 9.860.

“Makanya, yang harus kita lihat adalah bagaimana perkembangan harga? Kalau harga naik, pasti harus dipertanyakan lagi. Berarti produksinya atau distribusinya?” tandas dia.

Artikel ini ditulis oleh: