Jakarta, Aktual.com – Pertumbuhan ekonomi tidak selamanya menimbulkan efek yang positif. Pasalnya, tren pertumbuhan ekonomi yang membaik juga meningkatkan ketimpangan kaya miskin (Gini Ratio) yang semakin menganga.

“Sejak tahun 1990 koefisien Gini rasio di 0,34 cenderung mengalami tren kenaikan seiring dengan naiknya pertumbuhan ekonomi hingga mencapai 0,37 pada tahun 1997. Kemudian pada tahun 1998 terjadi krisis ekonomi di Asia, koefisien gini ratio juga turun di 0,308,” ujar Menteri PPN/ Kepala Bappenas Bambang Brojonegoro di Jakarta, Jumat (8/9).

 

Ketimpangan kaya dan miskin
Ketimpangan kaya dan miskin

Data yang disampaikan Bappenas menunjukkan pada 2004 hingga 2012, dinamika ekonomi berupa periode commodity boom turut menyumbang peningkatan gini ratio dari 0,363 pada 2005 menjadi 0,410 pada 2012. Gini ratio mulai menurun perlahan mulai tahun 2015 dari 0,408 menjadi 0,393 pada 2017.

“Pertumbuhan ekonomi paling bisa dirasakan dampaknya di perkotaan. Karena di perkotaaan mendapat konsentrasi pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi. Hal itu juga menyebabkan ketimpangan di perkotaan lebih tinggi daripada ketimpangan yang ada di pedesaan,” tambahnya.

Pada koefisien gini ratio 2017 hampir di semua provinsi, ketimpangan kaya miskin masyarakat perkotaan lebih tinggi daripada di pedesaan, kecuali Papua dan Papua Barat. Ketimpangan ekonomi perkotaaan tertinggi ada di Yogyakarta mencapai 0,435. Sedangkan provinsi tetangga, Jawa tengah hanya mencapai 0,386. Untuk ketimpangan ekonomi pedesaan tertinggi terjadi di Gorontalo mencapai 0,403 sedangkan terendah di Kepulauan Babel 0,219.

Beberapa faktor pendorong ketimpangan ekonomi terjadi karena akses pelayanan dasar, kualitas pekerjaan, pendapatan dan aset, dan ketiadaan jaring pengaman jika terkadi guncangan.

“Pertumbuhan ekonomi yang tinggi di Indonesia saat ini belum bisa diikuti dengan pemerataan kesejahteraan. Karena itulah, pemerintah harus hadir untuk melakukan intervensi,” tegasnya.

Dalam beberapa argumen, pertumbuhan ekonomi hanya membuat orang kaya semakin kaya, dan orang miskin semakin miskin. Namun, menurut Bambang, argumen tersebut tidak tepat. Pasalnya, data yang ada menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi orang kaya lebih cepat naik daripada orang miskin.

“Tidak benar jika orang kaya semakin kaya, dan orang yang miskin semakin miskin. Semua membaik, tetapi pertumbuhan ekonomi masyarakat kaya lebih cepat dibanding masyarakat kelompok bawah (miskin),” pungkasnya.

Sementara itu, Bank Indonesia juga menilai bahwa pertumbuhan ekonomi bukanlah hal yang utama, melainkan inflasi yang terjaga dan makroprudensial yang prudent.

“Bagi Bank Indonesia, mendorong pertumbuhan ekonomi itu adalah sunnah. Sedangkan yang wajib adalah menjaga menjaga mandat inflasi dan makroprudensial terjaga dengan baik,” ujar Asisten Gubernur Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI Dody Budi Waluyo.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Eka