Dirut Bulog Budi Waseso mengikuti rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi VI DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (21/5). Rapat perdana antara Budi Waseso yang baru diangkat sebagai Dirut Bulog dengan DPR itu membahas ketersediaan stok serta stabilitas harga pangan di bulan Ramadhan sekaligus menjelang Idul Fitri. AKTUAL/Tino Oktaviano

Jakarta, Aktual.com – Direktur Utama Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Bulog), Budi Waseso atau akrab disapa Buwas ‘teriak-teriak’, apa pasal, mantan kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) itu menolak kebijakan impor beras yang telah diputuskan pemerintah.

Menurut Buwas, saat ini persediaan beras di gudang-gudang milik Bulog sudah melimpah dan tak sanggup untuk menampung kuota tambahan beras impor. Berdasarkan data dari hasil kajian tim independen yang mengacu pada ketersediaan stok, penghitungan produksi di desa, ke kecamatan, hingga provinsi sentra produsen beras, disimpulkan persediaan yang ada cukup untuk memenuhi kebutuhan nasional hingga Juni tahun 2019.

“Atas dasar kajian itu, tim independen merekomendasikan tidak perlu impor hingga bulan Juni tahun depan,” kata Buwas.

#Penggelembungan Data Impor

Buwas mempertanyakan landasan pemerintah yang telah memutuskan untuk mengimpor beras secara berlebihan. Dia merasa metode perhitungan dari Badan Pusat Statistik (BPS) tidak relevan untuk dijadikan acuan.

Badan itu mengasumsikan kebutuhan konsumsi beras nasional sebanyak 130 Kg per kapita per tahun. Dengan jumlah penduduk sekitar 260 juta jiwa, BPS memperkirakan kebutuhan beras nasional sebanyak 2,4 hingga 2,7 juta ton per bulan atau sekitar 32 juta ton per tahun.

Yang menjadi pertanyaan Buwas, perhitungan itu dipukul rata dengan jumlah penduduk tanpa mempertimbangkan tingkat konsumsi golongan usia.

“Kebutuhan masyarakat Indonesia setiap bulan yang katanya 2,4-2,7 juta walaupun saya masih ragu cara berhitungnya karena dari BPS 260 juta manusia. Setiap orang rata-rata mengkonsumsi 130 kg beras setiap tahun. Berarti bayi pun sama dong? Tidak dibagi dengan usia. Bayi kan belum makan nasi, paling kan bubur. Nah itu harus ada hitungan ukurannya,” ujar Buwas.

Dengan metode perhitungan demikian, maka angka konsumsi nasional menggelembung hingga berbeda jauh dari kemampuan produksi. Ini yang disinyalir menjadi penyebab kebijakan impor tidak sesuai kebutuhan lantaran melesetnya asumsi konsumsi nasional.

“Makanya jatuhnya 2,7 juta per bulan konsumsinya. Akhirnya dikali setahun besar banget. Dibandingkan produksi kita kesannya nggak cukup,” tutur Buwas.

Sejauh ini Aktual sudah menghubungi Kabag Humas BPS RI, Eko Oesman dan belum mendapat tanggapan.

Selanjutnya…
#Gudang Beras Pindah ke Kantor Kemendag

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Dadangsah Dapunta