Jakarta, Aktual.com — Apa yang terjadi di Indonesia setelah pembacaan naskah proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945? Selain gema kemerdekaan yang disambut gembira di seluruh wilayah tanah air, sejarah juga menceritakan ada pihak-pihak yang belum rela negara baru bernama Republik Indonesia ini berdiri.

Salah satu pihak yang “keukeuh” tidak mengakui kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan Soekarno-Hatta yaitu, kaum kolonialis Belanda. Seusai Jepang kalah dalam perang dunia kedua, tentara Belanda (Netherlands-Indies Civil Administration/NICA) kembali masuk ke Indonesia dengan membonceng tentara sekutu. Perangpun kembali berkecamuk, diselingi pergantian pemerintahan, perundingan yang membuat penyusutan wilayah Indonesia.

Situasi awal Republik Indonesia yang baru berdiri itu, berusaha direkonstruksi kembali dalam buku fotografi jurnalistik berjudul “70 Tahun Republik Indonesia: Sejarah Untuk Masa Depan Kita”.

Dalam buku ini, jejak yang didokumentasikan bukan hanya gambaran kengerian dan kegetiran perang, namun ditampilkan juga peran pers dan pemberitaan serta keterlibatan masyarakat sipil menyokong kemerdekaan. Beberapa foto memperlihatkan coretan bertema semangat nasionalisme di gerbong kereta, trem dan dinding. Salah satunya ada di buku yang bersampul merah dengan coretan “merdeka ataoe mati” di kereta yang membawa presiden Republik Indonesia berpindah dari ibu kota Jakarta ke Yogyakarta.

Beberapa foto tentang perawatan medis, Pemuda Pandu, dirangkai berhadapan seolah memperbandingkan bagaimana penanganan darurat tentara Indonesia yang terluka dan bagaimana perawatan sebaliknya di pihak musuh.

Menurut Oscar Motuloh, kurator buku foto tersebut, tujuan pembuatan buku adalah untuk menyegarkan kembali ingatan kita terhadap sejarah visual Indonesia agar tak seolah repetitif, seperti digelar hanya saat Agustus-an belaka. Sejarah visual adalah identitas kita.

Oscar yang cukup lama berkecimpung di dunia fotografi serta banyak berpameran di dalam dan luar negeri ini juga menyinggung perlunya meremajakan sejarah Indonesia.

“Sejarah visual adalah fakta terpenting untuk merancangbangun masa depan kita,” kata pembuat buku fotografi “East Timor, A Photographic Record”, “Marinir” dan lain-lain yang pernah mengenyam pendidikan fotografi di Hanoi (1991) and Tokyo (1993).

Buku foto berukuran 20 cm x 15 cm tersebut dibagi menjadi tiga jilid buku untuk membedakan temanya. Buku pertama berwarna merah yang berisi foto-foto yang bertema revolusi fisik. Buku kedua berwarna putih berisi foto uang zaman dulu, kartupos serta sketsa bertema peran pers dan propaganda. Sedang buku ketiga berwarna jingga yang isinya tentang “human interest”.

Ketiga buku tersebut disatukan secara artistik dengan sampul kertas yang gambarnya menyiratkan tanda tanya. Foto sambul “sedikit aneh” karena memperlihatkan poster Bung Karno yang ditempel di depan kendaraan tank yang dinaiki tentara-tentara Belanda dengan wajah-wajah ceria, seolah menyiratkan dukungannya untuk Bung Karno.

Menurut Oscar, foto itu adalah koleksi Museum Broonbek Belanda yakni museum perang yang letaknya di perbatasan dengan Jerman. Sebagian besar koleksi foto Museum Bronbeek berasal dari dokumentasi pasukan KNIL (Koninklijke Nederlands Indische Leger), Tentara Kerajaan Hindia Belanda. “Foto ini tergolong langka dan belum ada yang mempublikasikannya,” ujar Oscar tentang latar belakang pemilihan cover tersebut.

“Kenapa para serdadu Belanda itu terlihat gembira? Rupanya penempelan poster Bung Karno di depan mesin perang adalah aksi teatrikal tentara Belanda yang kebetulan menemukan poster Bung Karno di jalan, nah justru di sini daya tariknya,” ujar pendiri Galeri Foto Jurnalistik Antara (GFJA) itu.

Buku ini menyajikan dua foto “hidup” karena dilengkapi dengan teknologi Augmented Reality (AR) berbasis Android.

Augmented Reality adalah teknologi yang menggabungkan benda maya (dua atau tiga dimensi) ke dalam sebuah lingkungan nyata lalu memproyeksikannya secara seketika. Teknologi ini memungkinkan kita bisa berinteraksi dengan gambar melalui tambahan informasi berbentuk teks dan suara seiring pergeseran gadget di atas foto tertentu dalam buku.

Ada dua gambar yang bisa dilihat dengan aplikasi Augmented Reality yakni foto peta tua kota Jakarta tahun 1945 yang terdapat di halaman 21 pada buku I yang sampulnya berwarna merah. Foto lainnya adalah gedung Pola di halaman terakhir pada buku III, buku sampul jingga. Penggunaan aplikasi Augmented Reality ini dirancang agar muncul kemasan baru yang cukup interaktif dan inovatif dalam kerangka edukasi sejarah kemerdekaan.

Berbahagialah yang memiliki indra untuk melihat, sehingga orisinalitas kekuatan foto jurnalistik ini mampu dirasakan. Hal ini terlihat dari cara penyusunan foto jenderal besar Sudirman yang memakai peci ciri khas Indonesia yang disandingkan berhadapan dengan jenderal Spoor. Kemudian juga foto mobil yang dikendarai serdadu musuh, dalam buku itu letaknya dibuat berhadapan dengan foto mobil yang dikendarai tokoh Republik Indonesia. Demikian juga dengan pesawat udara yang membawa bung Karno, letaknya di buku dibuat berhadapan dengan pesawat udara di pihak lawan.

Mungkin untuk edisi mendatang buku ini bisa dilengkapi dengan deskripsi berbentuk suara dari sang kurator untuk memperkuat analisa dari sudut pandang foto jurnalistik, sekaligus membantu orang awam bahkan saudara kita yang memiliki keterbatasan penglihatan agar bisa merasakan gelora patriotismenya.

Sejatinya buku fotografi ini mampu menuntaskan rasa ingin tahu kita tentang sejarah di awal kemerdekaan Indonesia, karena isinya banyak yang belum pernah dipublikasikan.

Foto-foto tersebut sebagian diperoleh dari dokumentasi Kantor Berita Foto pertama di Indonesia IPPHOS (Indonesia Press Photo Services). Beberapa foto diperoleh dari koleksi foto Museum Bronbeek, yang dahulunya adalah sebuah Istana di kota Arnhem Belanda, namun saat ini telah menjadi Museum dan sebagai rumah bagi para veteran.

Tentu saja Indonesia memiliki cara pandang sendiri dalam melihat rekaman peristiwa yang terjadi pada kurun waktu tahun 1945 hingga tahun 1950, demikian sebaliknya, pihak Belanda.

“Kami diberi keleluasaan untuk memilah dan memilih foto-foto mana saja yang akan ditampilkan dalam pameran dan buku, namun sayang keterbatasan waktu untuk meriset masih menjadi kendala,” kata Hermanus yang juga seorang fotografer senior itu.

Pameran foto bersama ini diselenggarakan di dua kota di negera masing-masing. Hal menarik adalah kemunculan 13 foto milik Yayasan Bung yang berisi berbagai sudut pengambilan gambar saat proklamasi dikumandangkan. Walaupun dari teori komunikasi “framing”, foto-foto ini sangat bisa diperdebatkan.

Buku ini bentuknya tidak begitu besar agar mudah dibawa dan harganya pun relatif terjangkau. Tidak bisa dimungkiri bahwa sejarah ternyata mampu dilihat lebih nyata dalam bentuk imaji visual, tampaknya inilah kekuatan buku itu.

Sejarah juga bisa dilihat tidak linear namun sangat banyak elemen saling silang bahkan simultan yang saling mengiringi. Di sini juga terbaca bagaimana peran jurnalis, peran pembuat poster, peran kaum wanita, tenaga medis dan dapur umum menyokong kemerdekaan Indonesia.

Bagi sejarawan serta masyarakat internasional, buku ini bisa dipandang sebagai pesan visual yang sarat dengan unsur perjuangan dan kemanusiaan, potret-potret untuk melengkapi sejarah perjalanan berdirinya sebuah bangsa.

Artikel ini ditulis oleh: