Kejar paus, dong!

Pertanyaannya kini, kenapa, sih, Sri terus saja sibuk mengurus hal-hal printal-printil alias remeh-temeh? Kenapa dia tidak membidik para pengusaha besar? Padahal bisa dipastikan, pajak dari sini hasilnya pasti jauh lebih kakap, bahkan paus, ketimbang mengulik UMKM?

Dia, umpamanya, bisa menjadikan temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tentang pengemplangan pajak yang dilakukan PT Freeport Indonesia sebesar Rp6 triliun.

Atau, Menkeu bisa mengerahkan kesaktiannya untuk mengulik kembali kasus Honggo Wendratno dan Raden Priyono. Mereka adalah dua orang tersangka kasus korupsi pencucian uang terkait penjualan kondensat bagian negara yang melibatkan BP Migas, Kementerian ESDM, dan PT Trans Pasific Petrochemical Indotama (TPPI).

Kasusnya terjadi pada periode 2009 sampai 2010. Honggo adalah Pendiri PT TPPI yang diduga mengambil kondensat bagian negara dari BP Migas tanpa kontrak yang sah. Sedangkan Raden Priyono adalah kepala BP Migas.

Dalam uditnya, BPK menyatakan total kerugian negara dalam kasus ini mencapai US$2,715 juta lebih atau sekitar Rp34 trilliun. Jumlah ini jelas sangat signifikan memberi tambahan dari sisi penerimaan negara bukan pajak (PNBP).

Tapi, bedasarkan rekam jejaknya, lagi-lagi publik ragu apakah Sri akan mau mengejar para ‘rakyat besar’ itu. Selama ini dia dikenal sangat galak memalak pajak terhadap rakyat kecil. Sebaliknya, kalau terhadap yang besar-besar, dia cenderung mencari jalan aman.

Bahkan, kepada Freeport yang berkali-kali menabrak aturan dan perundang-undangan serta jelas-jelas menunjukkan arogansi luar biasa, dia justru sibuk menyusun aturan yang bakal meringankan pajaknya.

Sekadar mengingatkan saja, Sri adalah tokoh di balik rencana pemberian fasilitas perpajakan bagi Freeport. Draft beleid berbentuk Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) yang berisi keringanan pajak itu sudah di Sekretariat Negara (Setneg).

Dalam bab VII Pasal 14 RPP tersebut, disebutkan tarif PPh Freeport hanya 25%. Angka ini turun ketimbang PPh badan Freeport saat masih rezim Kontrak Karya (KK), yaitu 35%.

Tapi, sudahlah. Walau seribu masukan dan saran disampaikan, toh Sri tetap melenggang tenang. Masuk kuping kiri keluar kuping kanan, begitu istilahnya. Pun begitu dengan Jokowi. Kendati di waktu Pilpres 2014 sibuk jualan Trisakti dan Nawacita, toh sang Presiden tetap saja abai dengan kelakuan menteri-menterinya yang berhaluan neolib.

Padahal, seperti kata Soekarno, neolib adalah pintu gerbang neokolonialisme dan neoimperialisme. Jadi, sebetulnya Trisakti yang diobral Jokowi dulu itu versi siapa, sih?

Oleh: Edy Mulyadi, Direktur Porgram Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS)

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Andy Abdul Hamid