Jakarta, Aktual.com – Ahli Hukum Tata Negara Denny Indrayana menilai, ambang batas pencalonan Presiden (Presidential Threshold) telah mereduksi hak rakyat untuk memilih. Sebab, hanya mereka yang bisa lolos PT yang bisa mengajukan capres dan pilihan rakyat pun menjadi terbatas.

“Kalau kita bicara soal pemilu, ini kan pemilu langsung oleh rakyat akan direduksi dengan adanya Presdential treshold,” kata Denny dalam diskusi daring bertajuk ‘Ambang Batas Pilpres, Kuasa Uang dan Presiden Pilihan Rakyat’ yang diselenggarakan Voice for Change pada akhir pekan.

“Lalu yang tak kalah penting PT itu kemudian juga munculkan apa yang saya sebut duitokrasi yang membunuh demokrasi. Duitokrasi itu dari kata duit, uang, demokrasi dibunuh oleh uang,” lanjut Denny.

Bahkan, sambung Denny, politik uang yang dimaksud dari istilah duitokrasi bukan sekadar memperjualbelikan suara rakyat (vote buying), tetapi memiliki arti yang lebih luas.

“Kalau kita sering menyebut politik uang itu sebenarnya yang dimaksud adalah vote buying. Padahal enggak, di dalamnya itu ada money politic, electoral corruption, ada political corruption dan banyak lagi yang lain,” ungkapnya.

Bahkan, imbuh Denny, praktik duitokrasi ini bisa disaksikan saat calon presiden dan wakil presiden yang tengah mencari dukungan dari partai politik, karena imbas dari keberadaan presidential treshold.

“Ini semua termasuk jenis-jenis korupsi pemilu. Dan kalau kita bicara presidential threshold, maka yang paling berkaitan dengan itu adalah bagaimana calon kandidat presiden atau wakil presiden memberi mahar ke partai politik untuk bisa dicalonkan sebagai pasangan calon presiden dan wakil presiden,” ungkap Denny yang juga pernah menggugat PT.

Dalam kesempatan yang sama, peneliti senior Pusat Penelitian Politik LIPI Prof R Siti Zuhro menilai, syarat presidential treshold dalam pemilihan presiden 2019 telah menimbulkan persaingan yang tidak sehat karena hanya menghasilkan dua calon pasangan presiden dan wakil presiden.

Padahal, sambung Siti Zuhro, esensi pemilu itu menghadirkan kompetisi yang sehat dan beradab.

Serta mempromosikan integritas dan kualitas pasangan calon, bukan malah menutup kompetisi digantikan dengan cara aklamasi, karena calonnya tunggal.

Oleh karena itu, semangat yang harus dibawa dalam Revisi UU Pemilu saat ini adalah untuk mendorong munculnya lebih dari 2 pasangan calon.

“Karena itu motivasi revisi Undang-undang Pemilu kali ini harus bernuansa untuk mendorong munculnya calon lebih dari dua Pasangan calon. Jadi calon itu harus lebih dari dua pasangan sebagai ikhtiar transisi dan pembelajaran demokrasi baik untuk elite maupun masyarakat,” tandas Siti Zuhro.