Jakarta, Aktual.com — Ustad Hasanudin menjelaskan, bahwa bekerja merupakan ibadah dan harga diri sebagai seorang Muslim. Dan, alangkah mulianya ajaran dalam Islam tentang etos kerja, yang mana ajaran etos kerja juga telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW.

Ketika masa remaja Rasulullah SAW merupakan seorang pedagang yang ulet, Beliau berdagang jauh sampai ke Syam (Suriah sekarang). Berkat kerja keras itu usaha dagang Rasulullah SAW berkembang.

Bahkan ketika resmi diangkat sebagai Rasul dan pemimpin umat semangat kerja Nabi Muhammad SAW tidaklah kendor, dari urusan dunia hingga pemerintahan, ekonomi sampai dengan membuat benteng untuk strategi militer.

“Jauh sebelum periode ke-Nabian Muhammad SAW para Rasul juga diajarkan untuk memelihara etos kerjanya. Nabi Nuh pandai membuat Kapal, Nabi Musa seorang pengembala, Nabi Sulaiman seorang insiyur yang hebat, Nabi Yusuf seorang akuntan, Nabi Zakaria seorang tukang kayu, Nabi Isa seorang tabib yang mumpuni. Padahal kalau Allah SWT berkehendak para Nabi yang membawa misi untuk menyeru menyembah hanya satu Tuhan bisa hidup dengan parlente, hidup bergelimang kemewahan. Di sini Allah SWT memberikan hikam kepada manusia, Nabi tidak hanya menyeru manusia menyembah satu Tuhan tapi juga menyeru manusia untuk memakmurkan alamnya,” kata Ustad Hasan-panggilan Hasanudin- kepada Aktual.com, di Jakarta, Selasa (23/02).

“Etos kerja tidak bisa dilepaskan dari bekerja profesional diawali dengan Bismilllah dengan niat karena Allah (innamal amalu binniyat). Dalam konsep sederhana manajemen modern Etos Kerja harus sesuai dengan prinsip-prinsip manajemen yaitu planning, organizing, staffing, directing dan controlling. Dalam Islam di kenal dengan istilah ihsan. Menurut Nurcholis Madjid, ihsan berarti optimalisasi hasil kerja dengan jalan melakukan pekerjaan itu sebaik mungkin, bahkan sesempurna mungkin,” jelas Ustad Hasan.

“Seringkali umat Islam terjebak dengan istilah Tawakkal dan Qanaah. Tawakkal diartikan menyerahkan sepenuhnya urusan kepada Allah SWT termasuk urusan perut dan rejeki, begitu pula Qanaah yang hanya diartikan sempit merasa ridha dan bersyukur dengan rejeki yang ada sekarang. Padahal konsep sejati dari Islam adalah mendahulukan konsep bekerja baru bertawakkal kepada Sang Pencipta. Dan, qanaah tidak menjadikan Muslim cepat berpuas dengan rezeki yang diberikan, bukankah Allah SWT itu Maha Kaya dan tidak membatasi kekayaaan kita sepanjang kekayaan yang diridhai Allah SWT,” terang ia menjelaskan.

Dijelaskan sebelumnya, bahwa Islam mendorong umatnya untuk bekerja, hidup dalam kemuliaan dan tidak menjadi beban orang lain. Islam juga memberi kebebasan dalam memilih pekerjaan yang sesuai dengan kecenderungan dan kemampuan setiap orang.

Namun demikian, Islam mengatur batasan-batasan, meletakkan prinsip-prinsip dan menetapkan nilai-nilai yang harus dijaga oleh seorang Muslim. Agar kemudian aktivitas bekerjanya benar-benar dipandang oleh Allah SWT sebagai kegiatan ibadah yang memberikan keuntungan berlipat ganda di dunia dan di akhirat. Berikut beberapa batasannya,

1. Pekerjaan yang dijalani harus halal dan baik.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ وَاشْكُرُوا لِلَّهِ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ

Artinya, “Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah SWT, jika benar-benar kepada-Nya kamu menyembah.” (Al Baqarah : 172).

Ustad Hasan menjelaskan, bahwa setiap Muslim diperintahkan untuk makan yang halal saja serta hanya memberi dari hasil usahanya yang halal, agar pekerjaan itu mendatangkan kemaslahatan dan bukan justru menimbulkan kerusakan. Itu semua tidak dapat diwujudkan, kecuali jika pekerjaan yang dilakukannya termasuk kategori pekerjaan yang dihalalkan oleh Islam.

“Maka tidak boleh bagi seorang Muslim bekerja dalam bidang-bidang yang dianggap oleh Islam sebagai kemaksiatan dan akan menimbulkan kerusakan. Di antara bentuk pekerjaan yang diharamkan oleh Islam adalah membuat patung, memproduksi khamr dan jenis barang yang memabukkan lainnya, berjudi atau bekerja dalam pekerjaan yang mengandung unsur judi, riba, suap-menyuap, sihir, ternak babi, mencuri, merampok, menipu dan memanipulasi dan begitu pula seluruh pekerjaan yang termasuk membantu perbuatan haram seperti menjual anggur kepada produsen arak, menjual senjata kepada orang-orang yang memerangi kaum muslimin, bekerja di tempat-tempat maksiat yang melalaikan dan merusak moral manusia dan lain sebagainya,” jelasnya lagi.

2. Bekerja dengan profesional dan penuh tanggung jawab.

Islam tidak memerintahkan umatnya untuk sekedar bekerja, akan tetapi mendorong umatnya agar senantiasa bekerja dengan baik dan bertanggung jawab. Rasulullah SAW berkata, “Sesungguhnya Allah SWT mencintai seorang di antara kalian yang jika bekerja, maka ia bekerja dengan baik.” (HR Baihaqi, dinilai shahih oleh Al Albani dalam “Silsilah As Shahihah”)

Beliau juga berkata, “Sesungguhnya Allah SWT mewajibkan perbuatan ihsan atas segala sesuatu.” (HR Muslim)

“Yang dimaksud dengan profesional dalam bekerja adalah, merasa memiliki tanggung jawab atas pekerjaan tersebut, memperhatikan dengan baik urusannya dan berhati-hati untuk tidak melakukan kesalahan,” katanya lagi menambahkan.

3. Ikhlas dalam bekerja.

Yaitu meniatkan aktivitas bekerjanya tersebut untuk mencari ridho Allah SWT dan beribadah kepada-Nya. Rasulullah SAW berkata, “Sesungguhnya amal-amal perbuatan itu tergantung niat. Dan setiap orang akan mendapatkan balasan sesuai dengan apa yang diniatkannya.” (HR. Bukhari Muslim)

“Niat sangatlah penting dalam bekerja. Jika kita ingin pekerjaan kita dinilai ibadah, maka niat ibadah itu harus hadir dalam sanubari kita. Segala lelah dan setiap tetesan keringat karena bekerja akan dipandang oleh Allah SWT sebagai ketundukan dan amal saleh disebabkan karena niat. Untuk itulah, jangan sampai kita melupakan niat tersebut saat kita bekerja, sehingga kita kehilangan pahala ibadah yang sangat besar dari pekerjaan yang kita jalani itu,” jelasnya lagi menambahkan.

4. Tidak melalaikan kewajiban kepada Allah SWT.

Bekerja juga akan bernilai ibadah jika pekerjaan apa pun yang kita jalani tidak sampai melalaikan dan melupakan kita dari kewajiban-kewajiban kepada Allah SWT. Sibuk bekerja tidak boleh sampai membuat Muslim meninggalkan kewajiban.

“Misalnya, salat itu adalah kewajiban yang harus dilaksanakan oleh setiap Muslim. Maka, jangan sampai kesibukan bekerja mencari karunia Allah SWT mengakibatkan ia meninggalkan salat walau pun hanya satu kali. Begitu pula dengan kewajiban yang lainnya, seperti zakat, puasa, haji, bersilaturahmi dan ibadah-ibadah wajib lainnya,” urainya menerangkan.

“Itulah beberapa prinsip dan etika penting yang harus dijaga oleh siapa saja yang tengah bekerja untuk mencukup diri dan keluarga yang berada dalam tanggungannya. Bekerja adalah tindakan mulia. Keuntungan dunia dapat diraih dengannya. Namun bagi seorang Muslim, hendaknya bekerja menjadi memiliki keuntungan ganda, keuntungan di dunia dengan terkumpulnya pundi-pundi kekayaan, dan di akhirat dengan pahala melimpah dan kenikmatan Surga karena nilai ibadah yang dikandungnya,” tandasnya.

Artikel ini ditulis oleh: