Jakarta, Aktual.com — Jika sebelumnya, Aktual.com membahas tentang persoalan mengenai bekerja pada orang atau perusahaan yang non-muslim, lantas bagaimana dengan seorang pemimpin yang meminpin sebuah kota, desa, atau organisasi lainnya yang mana para anggotanya dan penduduknya adalah mayoritas Muslim.

Sebenarnya dalam agama Islam, seorang Muslim tidak diperbolehkan untuk dipimpin oleh seorang non-muslim. Akan tetapi, walaupun begitu kita juga harus melihat dalam kenyataan yang terjadi dahulu, seperti apabila dalam keadaan yang darurat dan terpaksa maka tak ada salahnya kita dipimpin oleh mereka selama mereka masih bisa memimpin dengan baik dan tanpa merendahkan martabat Muslim itu sendiri.

Seperti, dalam bidang-bidang yang tidak bisa ditangani sendiri oleh orang Islam secara langsung atau tidak langsung karena faktor kemampuan atau pun ada orang Islam berkemampuan untuk menangani, tetapi terdapat indikasi kuat bahwa yang bersangkutan khianat, dan sepanjang penguasaan urusan kenegaraan kepada non Islam itu nyata membawa manfaat.

Hal ini pun juga jelas tertulis dalam Al Quran, Allah SWT berfirman,

وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلًا

Artinya, “Dan Allah SWT sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.” (An-Nisaa : 141).

Demikian pula dalam kitab ‘Al-Mughni ala Al-Quddaamah’ Imam Ahmad bin Hanbal atau yang lebih dikenal dengan sebutan Mazhab Hambali mengatakan,
وَلَوْ أَجَّرَ مُسْلِمٌ نَفْسَهُ لِذِمِّيِّ ، لِعَمَلٍ فِي ذِمَّتِهِ ، صَحَّ ؛ { لِأَنَّ عَلِيًّا ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَجَرَ نَفْسَهُ مِنْ يَهُودِيٍّ ، يَسْتَقِي لَهُ كُلَّ دَلْوٍ بِتَمْرَةٍ ، وَأَتَى بِذَلِكَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَكَلَهُ} وَفَعَلَ ذَلِكَ رَجُلٌ مِنْ الْأَنْصَارِ ، وَأَتَى بِهِ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ يُنْكِرْهُ .وَلِأَنَّهُ لَا صَغَارَ عَلَيْهِ فِي ذَلِكَ .وَإِنْ اسْتَأْجَرَهُ فِي مُدَّةٍ ، كَيَوْمٍ ، أَوْ شَهْرٍ فَفِيهِ وَجْهَانِ ؛ أَحَدُهُمَا ، لَا يَصِحُّ ؛ لِأَنَّ فِيهِ اسْتِيلَاءً عَلَيْهِ ، وَصَغَارًا ، أَشْبَهَ الشِّرَاءَ .وَالثَّانِي ، يَصِحُّ .وَهُوَ أَوْلَى ؛ لِأَنَّ ذَلِكَ عَمَلٌ فِي مُقَابَلَةِ عِوَضٍ ، أَشْبَهَ الْعَمَلَ فِي ذِمَّتِهِ ، وَلَا يُشْبِهُ الْمِلْكَ ؛ لِأَنَّ الْمِلْكَ يَقْتَضِي سُلْطَانًا ، وَاسْتِدَامَةً ، وَتَصَرُّفًا بِأَنْوَاعِ التَّصَرُّفَاتِ فِي رَقَبَتِهِ ، بِخِلَافِ الْإِجَارَةِ .

Artinya, “Seandainya orang Muslim mempekerjakan dirinya pada kafir dzimmi untuk mengerjakan sesuatu, maka akad sewa menyewa tersebut sah. Karena Sayyidina Ali Ra. pernah menyewakan dirinya pada orang Yahudi untuk menyiram ladang milik Yahudi dengan upah setiap satu timba air digaji dengan sebuah kurma. Kemudian sayyidina Ali memberikan kurma tersebut pada Nabi dan dimakan oleh Nabi. Perbuatan sayyidina Ali tersebut ditiru oleh seorang laki-laki dari golongan Anshar dan memberikan kurma yang didapatnya pada nabi. Nabi pun tidak pernah mengingkari perbuatan tersebut.”

Alasan selanjutnya adalah karena tidak ada unsur penghinaan pada orang Muslim dalam akad ijarah tersebut. Akan tetapi, bila orang non muslim menyewa orang Muslim untuk suatu masa tertentu, misalnya satu hari atau sebulan, maka dalam hal ini ada dua pendapat.

Pendapat pertama menyebutkan, bahwa akad tersebut tidak sah karena mengandung unsur penguasaan dan penghinaan terhadap orang Muslim. Ketentuan ini sama dengan menjual budak Muslim pada orang non muslim. Pendapat kedua mengatakan akad tersebut sah.

Pendapat kedua inilah yang paling sahih karena ijârah merupakan suatu pekerjaan yang diimbangi dengan bayaran (upah) sehingga menyerupai perjanjian untuk bekerja, tidak sama dengan kepemilikan (dalam budak yang diperjualbelikan, red), karena kepemilikan mengakibatkan adanya penguasaan, kepemilikan untuk selamanya, serta pemanfaatan secara bebas. Hal ini berbeda dengan ijarah.

(Sumber: Al masbsuth karya As sarkhasi, Al Bayan wat Tahshil karya Ibnu rusyd al jadd, Al mughni karya ibnu Qudamah, Raudhah at-Thoolibiin, Al-Majmuu’ ala Syarh al-Muhadzdzab).

Artikel ini ditulis oleh: