Jakarta, aktual.com – Program Makan Bergizi Gratis (MBG), yang diluncurkan pada awal tahun ini sebagai bagian dari upaya pemerintah untuk mengatasi stunting dan malnutrisi, kini menghadapi tantangan serius. Kasus keracunan MBG yang kembali terjadi baru-baru ini di sejumlah daerah, telah menimbulkan kekhawatiran publik mengenai standar keamanan pangan dalam program ini.
Menanggapi masalah ini, BEM FIKES Universitas Ibnu Khaldun Bogor bersama dengan Indonesian Youth Council for Tactical Changes (IYCTC) mengadakan diskusi mendalam untuk mengevaluasi efektivitas dan implementasi Program MBG
Nalsali Ginting, Advocacy Officer IYCTC menilai bahwa meski masih terlalu dini dalam menilai keberhasilan dari program MBG secara menyeluruh, pengawasan sejak dini sangat penting dilakukan agar adanya check and balance dalam implementasi program.
“Tujuan dari program ini sangat baik, untuk membantu keluarga pra sejahtera setidaknya mendapatkan keringanan finansial, makanan yang bergizi untuk anak agar mendorong prestasi belajar di sekolah, dan berjalannya perputaran ekonomi pada skala UMKM,” ujar Nalsali, Senin (06/05/2025).
Ia juga menyoroti pentingnya kandungan gizi dan menu makanan perlu disesuaikan dengan khas makanan dari daerah sasaran. Hal tersebut guna memudahkan adaptasi masyarakat dalam program ini, sehingga tidak menghilangkan konteks budaya terkhusus pada sektor makanan.
“Indonesia punya kekayaan pangan luar biasa, pada daerah-daerah pesisir laut, prioritas menu makanan mereka mungkin adalah ikan, sedangkan di wilayah pedalaman, sumber karbohidrat bisa saja buka nasi melainkan ubi, kentang, atau sagu. Menu harus relevan dengan konteks lokal,” lanjutnya.
Menurut Survey Kesehatan Indonesia pada tahun 2023 (SKI 2023), saat ini prevalensi stunting pada anak di Indonesia mencapai angka 21,6%. Data ini menunjukkan 1 dari 5 anak Indonesia terkena stunting. Hal ini tentu menjadi permasalahan terutama menjadi faktor penghambat mencapai Indonesia Emas 2045.
Nalsali juga menegaskan bahwa keberhasilan program ini sangat bergantung pada keterlibatan keluarga dan lingkungan rumah. Ia mendorong orang tua agar tidak hanya mengandalkan program ini, tetapi juga menjaga pola makan sehat di rumah dan menciptakan lingkungan yang mendukung tumbuh kembang anak, termasuk menjauhkan anak dari paparan asap rokok.
“Jangan sampai anak sehat di sekolah karena MBG, tapi sampai rumah malah terkepung dengan paparan asap rokok dari orang tua. Padahal kita tahu, paparan asap rokok itu juga berisiko terhadap tumbuh kembang anak, belum lagi terbayang jika anak ingin belajar, orang tuanya merokok di rumah, pasti akan terganggu ketika belajar. Harapan lainnya uang pada keluarga bisa dipergunakan untuk pemenuhan gizi keluarga dan kebutuhan keluarga yang menunjang pendidikan anak,” tuturnya.
Sementara itu, Kepala Departemen Keilmuan dan Pendidikan BEM FIKES Universitas Ibnu Khaldun Bogor, Nailah Alifah Auliyaa, mengatakan payung hukum yang berguna sebagai panduan standar pelayanan program ini menjadi sangat penting untuk memastikan Program MBG berjalan terstruktur dan sesuai tujuan. Tanpanya, pelaksanaan, distribusi, dan evaluasi program terhambat, serta tidak ada standar jelas soal keamanan pangan.
“Program ini wajib untuk adanya SOP agar mekanisme dapur produksi MBG bisa betul betul higienis, tetap berkualitas, terutama pengawasan pekerja dapur jangan sampai terpapar zat berbahaya, contoh terdekatnya adalah rokok. Residu asap rokok dapat menempel pada permukaan dan mengontaminasi makanan,” kata Nailah.
Ia juga merujuk pada data yang menunjukkan terdapat lebih dari 1.000 kasus keracunan makanan pada program MBG, dengan Jawa Barat sebagai wilayah terbanyak. Nailah mendesak pemerintah untuk melakukan evaluasi menyeluruh dan meningkatkan sistem keamanan pangan.
“Pemerintah perlu menyadari, bahwa untuk kasus mencegah, tentu wajib dan tidak boleh ditolerir satupun kasus keracunan makanan, ini bukan hanya sekedar, persentase keberhasilan 99,99%, tetapi ini terkait dengan mencegah agar tidak ada individu yang bukannya sehat, malah menjadi sakit akibat kelalaian program MBG ini,” tuturnya.
Selain pengawasan, Nailah juga mendorong agar alokasi anggaran MBG benar-benar diarahkan pada kelompok paling rentan yang berada dalam fase 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK), yakni ibu hamil dan balita. Penyesuaian konteks ini penting agar program tidak hanya bersifat seremonial atau simbolik semata, melainkan benar-benar menjawab kebutuhan yang ada di lapangan.
Artikel ini ditulis oleh:
Rizky Zulkarnain