Pulau Sabang senjata geopolitik Indonesia untuk lumpuhkan Singapura. (ilustrasi/aktual.com)

Kalau Selat Lombok bisa bikin ketar-ketir Australia, maka Pulau Sabang bisa melumpuhkan urat nadi perekonomian Singapura. Begitu menurut M Arief Pranoto, pakar geopolitik Global Future Institute dalam sebuah diskusi terbatas di Jakarta Senin (06/02) lalu.

Diskusi terbatas yang diprakarsai oleh Global Future Institute itu, untuk merespons tawaran pemerintah Indonesia kepada Jepang untuk kerjasama mengelola Pulau Sabang dalam bidang pariwisata. Pertanyaannya, sadarkah pemerintahan Jokowi betapa strategisnya Pulau Sabang?

Mari kita berimajinasi sejenak. Andaikan Indonesia menggabungkan beberapa pulau seperti Jawa-Madura (Suromadu), atau sebagaimana rencana menyambungkan Jawa-Sumatera (Jembatan Selat Sunda/JSS), atau Sumatera-Malaysia (Jembatan Selat Malaka/JSM) dan lainnya.

Tampaknya rencana Thailand jauh lebih penuh perhitungan dibandingkan Indonesia. Karena dalam benak para perancang kebijakan nasional Thailand, tujuannya lebih berskala regional ketimbang sekadar berlingkup nasional.  Yaitu menyatukan dua jalur perairan internasional yaitu Lautan Hindia dan Laut Cina Selatan melalui sebuah kanal (terusan) yang membelah daratan.

Luar biasa. Kemungkinan hasrat Thailand terinspirasi oleh Terusan Suez di Mesir yang memangkas serta menyatukan Laut Merah dengan Laut Mediterania.

Bagi Thailand nampaknya tidak main-main. Anggaran 21,2 milyar US Dollar disiapkan guna pengerukan kanal. Inilah rencana proyek Terusan Thai. Atau sering orang menyebut sebagai Terusan Kra, atau Terusan Tanah Genting Kra yang dilewatkan via kanal pada (leher) teritorial tersempit di Semenanjung Malaka, Thailand Selatan.

Wacana ini sebenarnya begulir sejak tahun 1677-an zaman Raja Thai Narai. Sebuah ide gila membangun jalan air antara Songkhla dengan Marid (sekarang Myanmar). Terusan Kra sudah lama diharap menjadi “Terusan Suez”-nya Asia yang menghubungkan jalur perairan antara Barat dan Timur, namun teknologi tempo doeloe belum mumpuni untuk proyek semacam itu.

Terusan Kra atau “Terusan Suez”-nya Thailand dinilai mampu memangkas jarak sekitar 612 mil antara Laut Cina Selatan dengan Lautan Hindia dimana rute sebelumnya melalui Selat Malaka. Dapat dibayangkan ekonomi Singapore nanti bila kanal ini beroperasi karena selama ini, terutama “kehidupan”-nya bergantung kepada selat tersebut.

Roda ekonomi Singapore niscaya menurun bahkan cenderung bangkrut sebab 50% pelayaran internasional dari 50-an ribu kapal per tahun, sedikit demi sedikit diperkirakan beralih dari Selat Malaka ke Terusan Kra karena jalur lebih pendek.

Secara politis, Singapore dan sekutu-sekutu strategisnya seperti Amerika Serikat dan Inggris, pasti kebakaran jenggit dan menolak keras proyek tadi.

Sinyalir pun bergulir, selain melalui berbagai cara ia akan berusaha menghalangi dengan tekanan ekonomi, atau upaya-upaya lain, juga tak boleh diabaikan ialah pergolakan (politik) rakyat hingga kini yang ingin memisahkan diri di Thailand Selatan diduga tak lepas dari “peran dan campur tangan” Negeri Paman Lee agar proyek tadi gagal dengan alasan situasi tidak kondusif.

Namun, itulah bukti nyata sebuah negara yang dalam menyusun kebijakan ekonominya, mempertimbangkan keunggulan geopolitik negaranya.

Lantas bagaimana dengan Indonesia? Kalau Thailand punya terusan Kra, Indonesia punya senjata geopolitik yang tidak kalah ampuh. Pulau Sabang.

Jika Sabang menjadi pelabuhan internasional maka Singapura bakalan “sepi” pengunjung.  Manakala Orde Baru membekukan status Sabang akibat muncul Gerakan Aceh Merdeka, maka asumsi tadi seperti berputar-putar di langit-langit Aceh dan negeri sebelahnya.

Demikian juga di era Gus Dur, ketika pemerintah menerbitkan UU No 37/2000 guna memberlakukan kembali Sabang menjadi kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas, tetapi dalam praktek malah kembang-kempis. Hidup segan mati tak mau.

Para elit seperti diberi “paket mainan” ala DHL (demokrasi, HAM dan lingkungan), kebebasan, korupsi dan lain-lain sehingga asik berhura-hura politik sehingga proyek strategis bangsa dan negara pun terlantar.

Kenapa konflik vertikal di Aceh dan di Thailand Selatan berpola sama yakni ingin memisahkan diri (separatisme)? Jangan-jangan kedua konflik itu sengaja dibuat? Jangan melihat apa yang terjadi tapi tengoklah mengapa ia terjadi.

Tidak ada peristiwa tergelar secara kebetulan di dunia ini, bahkan daun jatuh pun bukannya ujug-ujug namun lewat sebuah ‘proses’.  Artinya jika kita cermati lebih jeli, bahwa pola-pola konflik apapun benang merahnya akan terlihat sama dan berulang, hanya kemasan, metode, waktu serta tempat yang berbeda.

Kalau kita abai geopolitik, maka tanpa sadar kita membuka pintu lebar-lebar beragam kepentingan nasional masuk ke Indonesia. Thailand dan Indonesia merupakan contoh kasus.