Jakarta, Aktual.co —.Secara historis, pers mempunyai peran penting dalam bangkitnya wawasan kebangsaan dan perjuangan kemerdekaan Indonesia. Apalagi untuk pers periode tahun 1900-an. Hasrat rakyat bagi kemerdekaan dan perjuangan yang sadar dari kepemimpinan revolusioner memerlukan koordinasi. Pers berperan dalam memberikan koordinasi ini.
Tokoh-tokoh pejuang seperti Haji Agus Salim, Sam Ratulangi, Danudirdja Setyabuddhi (Douwes Dekker), Ki Hajar Dewantara, dan Tjipto Mangunkusumo, adalah tokoh-tokoh garis depan dalam pengembangan pers nasional, yakni pers yang akan berperan penting dalam perjuangan fisik di tahun 1940-an.
Bahkan Bung Karno pernah memimpin Fikiran Rakjat di Bandung, Bung Hatta bersama Sutan Sjahrir memimpin Daulat Rakjat, Haji Oemar Said Tjokroaminoto memimpin Oetoesan Hindia, dan Dokter Soetomo mengusahakan Soeara Oemoem, yang dipimpin Tjindarbumi dibantu Sudarjo Tjokrosisworo.  
Pers yang pertama kali diterbitkan oleh seorang pribumi di era Hindia Belanda adalah Medan Prijaji, yang sebelum menjadi harian telah terbit sebagai mingguan selama tiga tahun, sejak 1907.  Penerbitnya adalah Raden Mas Tirtohadisoerjo, bekas murid Stovia yang bisa disebut sebagai “pelopor jurnalis Indonesia.”
Sebelum menerbitkan Medan Prijaji, ia telah berpengalaman sebagai wartawan suratkabar harian Bintang Betawi, yang dipimpin J. Kieffer dari Firma Van Dorp & Co. Tirtohadisoerjo adalah seorang priyayi dan saudara Bupati Purwodadi, sedangkan orangtuanya sendiri adalah seorang kolektur (juru pengumpul uang pada zaman Belanda atau Manteri Pajak) di Ponorogo. Ayah Tirtohadisoerjo bernama Raden Mas Tumenggung Tirtonoto.  
Walau suratkabar yang diasuh Tirtohadisoerjo itu bernama Medan Prijaji, suratkabar yang terbit di Bandung itu tidak dimaksudkan hanya untuk kaum priyayi. Moto majalah ini semula berbunyi: “Swara bagi sekalijan Radja2, Bangsawan Asali dan fikiran saudagar-saudagar Anaknegeri, lid-lid Gemeente dan Gewestelijke Raden dan saudagar bangsa yang terprentah lainnya.”
Sesudah makin maju, majalah ini menjadi harian, dan motonya semakin tegas dan jelas, yakni: “Orgaan boeat bangsa jang terprentah di H.O. Tempat akan memboeka swaranja Anak-Hindia.” H.O. adalah singkatan dari Hindia Olanda. Pada saat itu, moto ini sudah dianggap sangat radikal. Bandingkanlah dengan moto Sinar Soematra di Padang, yang berbunyi: “Kekallah kerajaan Wolanda, sampai mati setia kepada kerajaan Wollanda” (!)
Yang juga menarik, menurut buku Sejarah Pers Sebangsa, disebut nama-nama para pengelola Medan Prijaji. Sebagai pemimpin redaksi (hoofdredacteur) adalah Tirtohadisoerjo sendiri, dengan redaktur A.W. Madhie, Raden Tjokromidjojo, Raden Soebroto (ketiganya dari Bandung), R.M. Prodjodisoerjo dan R. Kartadjoemena di Bogor, dan P.t (Paduka tuan) J.J. Meyer, pensiunan Asisten Residen di ‘s Gravenhage, sebagai redaktur di Nederland. Juga disebut adanya “beberapa joernalist bangsa Tiong Hoa dan Anak negerie jang pandai2 jang sudah kita pilih mentjoekoepi pada kewadjibannja, a.m (antara mana) Begelener, Hadji Moekti dan lain-lain.”
Di sini terlihat, Tirtohadisoerjo melibatkan dalam susunan redaksinya berbagai unsur masyarakat yang ada waktu itu: Belanda, Cina dan pribumi. Ini suatu langkah yang luar biasa pada saat itu, jika mengingat Medan Prijaji di bawah Tirtohadisoerjo sering bersikap kritis terhadap praktek dagang pengusaha Belanda dan Cina yang merugikan atau mendesak posisi pedagang pribumi. Dalam satu segi, ini juga indikasi dari benih-benih nasionalisme Indonesia.
Jelaslah bahwa Medan Prijaji bukan saja merupakan suratkabar nasional yang dipimpin oleh tenaga-tenaga nasional sendiri, tetapi juga sekaligus dimodali oleh modal nasional. Meskipun di antara para redaktur dan pembantunya juga dicantumkan nama J.J. Meyer.
Tokoh Tirtohadisoerjo ternyata mendapat tempat yang banyak pula dalam laporan-laporan pejabat-pejabat Hindia Belanda, terutama laporan Dr. Rinkes. Ini disebabkan karena kemudian Tirtohadisoerjo memegang peranan pula dalam pembentukan Sarekat Dagang Islam di Surakarta bersama Haji Samanhudi, yang merupakan asal mula Sarikat Islam yang kemudian berkembang ke seluruh Indonesia. Anggaran Dasar Sarikat Islam yang pertama mendapat persetujuan Tirtohadisoerjo sebagai ketua Sarikat Islam di Bogor dan sebagai redaktur suratkabar Medan Prijaji di Bandung.
Pergerakan politik anak negeri jajahan biasanya disebut gerakan nasional. Dalam hubungan itu, maka baik lahirnya Medan Prijaji maupun suratkabar-suratkabar nasional lainnya, pada kenyataannya tidak jauh berbeda dengan gerakan kebangsaan Indonesia. Pers nasional dan gerakan kebangsaan Indonesia merupakan dwitunggal dalam arti yang luas. Antara gerakan kebangsaan dan persnya terjalin hubungan kerjasama yang erat. Pers nasional adalah cermin nyata kehidupan gerakan kebangsaan, dan sekaligus juga menjadi wahana penyebar gagasan-gagasan nasionalisme.
Kalau nilai tradisi (keindonesiaan) dalam arti yang lebih utuh kita anggap ada sejak tercetusnya “Sumpah Pemuda” dalam Kongres Pemuda II, 28 Oktober 1928, benih-benihnya secara parsial sebenarnya sudah tertanam lama sebelumnya. Jelas sekali bahwa Tirtohadisoerjo telah menunjukkan warna tradisi itu. Namun “tradisi” yang dimaksud di sini bukanlah sesuatu yang dipertentangkan dengan modernitas.
Namun dalam perlawanannya dan kecamannya yang tajam terhadap praktek-praktek kolonial Hindia Belanda, “tradisi” Tirtohadisoerjo ini sebenarnya juga adalah salah satu wujud modernitas, yakni keyakinan bangsa (perubahan) nasib itu ditentukan oleh diri sendiri, bukan oleh pihak luar. Dengan demikian, penerbitan pers menjadi perwujudan kehendak suatu individu/bangsa yang sadar untuk menentukan nasibnya sendiri dan berpendapat bahwa suaranya berharga untuk didengar.
Medan Prijaji lahir pada periode ketiga, menurut pendekatan bibliografi yang dilakukan Hoogerwerf (1990). Periode pertama (1800-1856) didahului oleh masa keterbatasan di masa VOC (Kompeni Perdagangan Hindia Timur). Pers di Hindia Belanda menjadi percaturan dan perdebatan politik di DPR Belanda, antarwakil berbagai golongan politik. Periode kedua (1856-1900), diwarnai latar belakang kehidupan politik Belanda dan munculnya pers Hindia Belanda yang didominasi kaum liberal, yang berhasil menghapus sistem Tanam Paksa dan UU Agraria 1870. Muncul pemikiran Politik Etika yang bertujuan memperbaiki martabat dan derajat penduduk bumiputra.
Medan Prijaji lahir pada periode ketiga (1900-1942), ketika pengaruh Politik Etika menumbuhkan pandangan-pandangan baru dan pemikiran baru mengenai perimbangan-perimbangan kolonial. Muncul kesadaran politik baru bahwa hubungan terjajah dan penjajah tidaklah abadi, dan pada suatu ketika masyarakat Indonesia akan sanggup berdiri sendiri. Elite Indonesia yang baru tumpuh pun memperhatikan pandangan baru itu.
Kedudukan pers berbahasa Melayu lebih penting daripada pers Belanda, karena pers berbahasa Melayu langsung dapat menarik pembaca-pembaca bumiputra. Namun keadaan pers Indonesia bila dibandingkan dengan pers Belanda dan pers Cina (Tionghoa-Melayu) kebanyakan jauh di bawah ukuran. Hal itu dapat dimengerti, karena sebagian besar rakyat yang merasa memerlukan membaca koran (Indonesia), tidak begitu banyak uangnya. Padahal harga langganannya sudah begitu rendah, sedangkan iklan-iklannya pun hanya merupakan sumber penghasilan yang kecil, dan peralatannya sangatlah sederhana.
Hanya lima tahun Medan Prijaji dapat terbit dan dalam masa jayanya antara 1910-1912 dapat mencapai oplah hingga 2.000, suatu jumlah yang untuk suratkabar Belanda sendiri saat itu sudah termasuk besar. Kecuali Medan Prijaji, ia juga menerbitkan Soeloeh Keadilan. Karena karangan-karangannya yang tajam terhadap penguasa, Tirtohadisoerjo pernah dibuang ke Lampung. Tetapi dari tempat pembuangan itu pun ia masih terus menulis karangan-karangan yang bercorak membela rakyat kecil, serta melawan praktik yang buruk dari pemerintah setempat.
Ketika menulis buku kenang-kenangannya pada tahun 1952, Ki Hajar Dewantara mencatat tentang diri Tirtohadisoerjo sebagai berikut: “Kira-kira pada tahun berdirinya Boedi Oetomo ada seorang wartawan modern, yang menarik perhatian karena lancarnya dan tajamnya pena yang ia pegang. Yaitu almarhum R.M. Djokomono, kemudian bernama Tirtohadisoerjo, bekas murid Stovia yang waktu itu bekerja sebagai redaktur harian Bintang Betawi (yang kemudian bernama Berita Betawi) lalu memimpin Medan Prijaji dan Soeloeh Pengadilan. Beliau boleh disebut pelopor dalam lapangan journalistik.”
Sudarjo Tjokrosisworo dalam bukunya Sekilas Perjuangan Suratkabar (terbit November 1958) menggambarkan Tirtohadisoerjo sebagai seorang pemberani. “Dialah wartawan Indonesia yang pertama-tama menggunakan suratkabar sebagai pembentuk pendapat umum, dengan berani menulis kecaman-kecaman pedas terhadap pihak kekuasaan dan menentang paham-paham kolot. Kecaman hebat yang pernah ia lontarkan terhadap tindakan-tindakan seorang kontrolir, menyebabkan Tirtohadisoerjo disingkirkan dari Jawa, dibuang ke Pulau Bacan,” tulis Tjokrosisworo.
Tirtohadisoerjo jelas mewujudkan dalam dirinya sisi intelektual. Karena menjadi seorang wartawan, penerbit suratkabar, pada waktu itu otomatis menghadapkannya pada realitas kekuasaan kolonial, serta keterlibatan dalam masalah kemasyarakatan. Tirtohadisoerjo, misalnya, harus berhadapan dengan produk hukum kolonial yang menekan pers. Pada tahun Tirtohadisoerjo meninggal (17 Agustus 1918), diberlakukan ketentuan-ketentuan untuk menindak wartawan, yakni bersamaan dengan berlakunya Wetboek van Strafrecht van Nederlands-Indie (kitab Hukum Pidana).
Depok, 3 April 2015
E-mail: arismunandar.satrio@gmail.com

Artikel ini ditulis oleh: