Karyawan mengamati pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Kamis (18/6). IHSG ditutup melemah 0,25 point atau 0,01 persen menjadi 4.945,49 pada perdagangan bursa saham awal ramadan. ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari/kye/15

Jakarta, Aktual.com — Manajemen PT Eagle High Plantation (EHP), sebuah industri kelapa sawit Indonesia anak perusahaan Grup Rajawali, menilai akuisisi oleh perusahaan Malaysia Felda Global Ventures (FGV) Holding Berhad sesuai dengan ketentuan dan tidak terjadi tiba-tiba.

“Sebelum dilakukan akuisisi dimulai dengan perundingan yang selajutnya diajukan ke Komite Investasi FGV dan disetujui. Setelah dari komite investasi, diajukan ke direksi dan disetujui. Setelah itu, dilakukan kesepakatan akuisisi,” kata Managing Director Rajawali Corp Darjoto Setyawan kepada pers di Jakarta, Jumat (19/6).

Rajawali Corp pada tanggal 12 Juni 2015 meneken kesepakatan penjualan 37 persen saham Eagle High Plantation kepada FGV senilai 632 juta dolar AS (sekitar Rp9,04 triliun) berupa dana tunai dan tukar saham.

Penandatangan kesepakatan yang digelar di Jakarta disaksikan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Sofjan Djalil dan Menteri Perdagangan Internasional dan Industri Malaysia Dato Sri Mustapa Mohamad.

Dikatakan usai acara penandatanganan tersebut beredar sejumlah berita di Malaysia yang mengatakan bahwa kesepakatan tersebut hendaknya dihentikan, antara lain disebabkan tidak melalui proses sesuai dengan ketentuan dan harganya yang terlalu mahal.

Usai penandatanganan di Jakarta itu, kata Darjoto, akan dilakukan “due diligence” sampai dengan akhir Juli 2015 dan selanjutnya akan dilakukan rapat umum pemegang saham luar biasa (RUPSLB) untuk menentukan apakah menyetujui atau tidak transaksi tersebut.

“Dalam RUPSLB memerlukan 50 persen tambah satu suara agar akuisisi bisa disetujui. Menurut saya selama ini proses telah berjalan sesuai dengan ketentuan, selanjutnya melakukan ‘due diligence’,” katanya.

Usulan pembatalan rencana kerja sama itu, kata dia, muncul dari sejumlah blogger yang selalu menulis negatif mengenai pemerintah Malaysia dan ada juga permintaan pembatalan dari salah seorang anggota parlemen dari partai oposisi.

“Jadi, permintaan pembatalan itu hanya bersifat sporadis dari beberapa orang yang minta transaksi dibatalkan. Pembatalan bukan disebabkan faktor persaingan bisnis, melainkan karena faktor politis,” katanya.

Ia mengakui bahwa PT Rajawali memang dimiliki oleh pengusaha Peter Sondakh, sementara mantan PM Malaysia Mahathir Mohammad berada juga memiliki posisi strategis di FGV sehingga oleh lawan-lawan politiknya akuisisi tersebut diserang.

Ditambahkan akuisisi ini membuat Indonesia dan Malaysia makin disegani sebagai produsen CPO terkemuka di dunia, terutama dalam menghadapi serangan kampanye hitam dari produsen minyak nabati negara-negara Barat.

Penjualan saham tersebut merupakan solusi yang saling menguntungkan mengingat gagi FGV akan membuka akses terhadap pasar dan kebun yang luas di Indonesia, sedangkan EHP menggaet mitra strategis yang memiliki pengalaman dan keahlian mumpuni di bidang perkebunan.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Eka