Jakarta, Aktual.com — Anggota DPR, Firman Subagio, dan pengamat hukum Margarito Kamis menilai rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Kawasan Tanpa Rokok (KTR) yang disusun DPRD Tangerang Selatan kebablasan. Bagaimana tidak, Raperda ini tak hanya mengatur kawasan tanpa rokok, namun juga melarang industri beriklan dan melarang toko swalayan berjualan rokok. Firman yang juga Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menegaskan, setiap peraturan daerah tidak boleh bertentangan dengan aturan lebih tinggi. Apalagi, rokok atau produk tembakau adalah produk legal.

“Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan, tidak ada kata larangan, namun berupa pembatasan. Karena itu, Raperda yang mengatur larangan beriklan atau berjualan rokok, jelas bertentangan dengan aturan di atasnya,” ujar Anggota DPR, Firman Subagio di Jakarta, Jumat (10/6).

Menurut Firman, dalam setiap pengambilan keputusan terkait tembakau, harus ada pertimbangan rasional. Suka atau tidak, industri tembakau memberi kontribusi ekonomi besar mencapai Rp 157 triliun per tahun dari sisi cukai saja.

“Kalau itu dimatikan hanya karena desakan golongan anti tembakau jelas tidak fair. Tembakau bukan penyebab penyakit hingga menyebabkan kematian. Ingat, pabrik senjata juga menimbulkan kematian, kenapa tidak minta Amerika atau Rusia menutup pabrik senjata mereka,” tegas FIrman.

Ia menilai, gencarnya regulasi yang memukul tembakau, semata karena kompetisi dagang di tingkat global. Ada kelompok bisnis tertentu yang ingin mematikan industri tembakau dalam negeri.

“Maka tembakau dimatikan dengan mendorong isu kematian akibat tembakau. Kalau tembakau dilarang jual, maka bagaimana dengan petani. Pemerintah daerah tidak bisa membuat regulasi yang diskriminatif, harus diatur bersama, petani tetap terlindungi,” tandasnya.

Ia mengingatkan, salah satu alasan penjajah datang karena tembakau lokal Indonesia yang kemudian dibawa ke Belanda untuk dijadikan bahan cerutu. Nah, seharusnya, tembakau sebagai karunia Tuhan di sektor pertanian dilindungi dan tidak bisa diabaikan begitu saja  di tengah perlambatan ekonomi dan defisit anggaran mencapai Rp 300 triliun.

“Jika tembakau diberangus mau diganti dengan apa. Jangan mengikuti dan mau ditunggangi oleh kampanye anti tembakau yang didanai kepentingan asing,” tandasnya.

Margarito sepakat dengan Firman. Raperda itu memang menabrak aturan di atasnya, yakni PP 109 Tahun 2012. “Aturan itu kebablasan. Perda tidak bisa mengatur apa yang tidak ada di undang-undang atau peraturan di atasnya. Urusan rokok ini kan tidak otomatis juga semata urusan kesehatan. Aturan seperti itu jelas memukul industri hingga petani,” kritik Margarito.

Ia khawatir, maraknya regulasi seperti itu disponsori korporasi asing yang selama ini mendanai kampanye anti tembakau di Tanah Air. Kata Margarito, daerah terkena euforia merespon kampanya anti tembakau yang didorong asing sehingga seolah-olah urusan tembakau hanya dimensi kesehatan.  “Ini yang harus diluruskan oleh pemerintah,” tegasnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Eka