Jakarta, Aktual.co — Selain memberikan manfaat bagi kehidupan manusia. Penemuan – penemuan hal baru khususnya dalam bidang teknologi maupun yang lain, sedikit banyaknya telah melahirkan kesadaran akan adanya hak baru di luar hak kebendaan atau barang.

Dalam hal ini pengakuan atas segala temuan, ciptaan, dan kreasi baru yang ditemukan dan diciptakan baik oleh individu atau kelompok telah melahirkan apa yang disebut dengan Hak Milik Intelektual (HAMI) atau Hak Kekayaan Intelektual (HAKI).

Ulasan di atas merupakan pandangan hukum positif terhadap masalah hak cipta. Lalu, bagaimana padangan Islam terhadap masalah tersebut? Serta bagaimanakah pandangan hukum Islam terhadap pembajakan kekayaan intelektual (hak cipta)?

Di Indonesia, termasuk salah satu ‘surga’ bagi peredaran barang-barang bajakan dan ilegal. Segala barang bajakan dan tiruan dapat ditemukan dengan mudah di negeri ini. Misal saja, dalam bentuk barang elektronik, buku, kaset musik, film, software, hingga obat palsu sekalipun dijual bebas.

Tak heran,  jika Indonesia pada 2007 tercatat berada di urutan lima besar negara dengan tingkat pembajakan dan pelanggar terbesar hak atas kekayaan intelektual (HAKI). Potensi kerugian dari praktik tersebut sangatlah besar.

”Setiap bentuk pelanggaran terhadap hak cipta, merupakan kezaliman yang hukumnya haram,” terang Ketua Komisi Fatwa MUI, KH Ma’ruf Amin.  

Dalam butir pertimbangannya, MUI memandang praktek pelanggaran hak cipta sudah mencapai tahap yang meresahkan. Banyak pihak dirugikan, terutama pemegang hak cipta, negara dan masyarakat.

Tak hanya hukum negara yang dilarang, malahan praktik ilegal itu juga dinilai melanggar ketentuan syariat. Surat an-Nisaa ayat 29 secara tegas melarang memakan harta orang lain secara batil (tanpa hak).

 “Hai orang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janglah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.”

Terkait hal itu,  dalam Al Quran surat as-Syu’ara ayat 183 Allah SWT berfirman, ”Dan janganlah kamu merugikan manusia  dengan mengurangi hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka Bumi dengan membuat kerusakan.”

Rasulullah SAW sangat mencela segala tindakan yang bisa merugikan hak orang lain.

”Tidak boleh membahayakan (merugikan) diri sendiri dan tidak boleh pula membahayakan (merugikan) orang lain.” (HR Ibn Majah dari ‘Ubadah bin Shamit)  Kalangan ulama dari Mazhab Maliki, Hanbali dan Syafi’i tidak berbeda pandangan terhadap praktik pelanggaran hak cipta ini.

Sementara itu, para Ulama lintas mazhab itu menggolongkan hak cipta yang orisinil dan bermanfaat sebagai harta berharga. Oleh sebab itu, Wahbah al-Zuhaili pun menegaskan bahwa tindakan pembajakan merupakan pelanggaran atau kejahatan terhadap hak pengarang. Pelakunya akan dipandang telah melakukan kemaksiatan yang menimbulkan dosa.

”Ini  sama dengan praktik pencurian, harus ada ganti rugi terhadap hak pengarang atas naskah yang dicetak secara melanggar,”  tutur Wahbah.

Ketentuan-ketentuan yang telah digariskan Allah SWT dan Rasul-Nya, juga para fukaha tadi, lantas bermuara pada kaidah fikih.

Dalam hal ini sedikit banyaknya  ada tiga kerugian bagi para penemu aslinya (pemilik hak cipta asli, red), yakni  bahaya (kerugian) harus dihilangkan.  Kemudian menghindarkan masfadat didahulukan atas mendatangkan maslahat, dan selanjutnya, segala sesuatu yang lahir (timbul) dari sesuatu yang haram, adalah haram.

Sumber yang lain yakni Yusuf Assidiq dan Heri Ruslan. Setelah memerhatikan seluruh aspek tersebut, Komisi Fatwa pun akhirnya menetapkan bahwa hak cipta termasuk dalam lingkup huquq maliyyah (hak kekayaan) yang harus mendapat perlindungan hukum (mashun) seperti halnya harta kekayaan.  

”Hak cipta yang harus dilindungi secara hukum adalah hak cipta yang tidak bertentangan dengan hukum Islam,” tuntas Kiai Ma’ruf Amin. (Dikutip Dari Berbagai Sumber)

 

Artikel ini ditulis oleh: