Pelanggaran UU

Pengamat Hukum Sumber Daya Alam Universitas Tarumanegara, Ahmad Redi memaparkan ada beberapa poin dari RPP terindikasi bertentangan dengan UU Minerba No.4/2009. Pertama mengenai luas wilayah tambang.

Diketahui dalam ketentuan UU No.4/2009 menetapkan luas wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUP) hanya 15 ribu Ha. Namun perubahan PP nantinya memungkinkan peralihan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) kepada IUPK luasnya memungkinkan mengikuti rezim PKP2B yang nota bene jauh lebih luas dari ketentuan IUP.

“Luas wilayah, padahal 15 ribu Ha namun dalam RPP ini disesuaikan dengan wilayah PKP2B. Ini salah karena PP tidak boleh bertentangan dengan UU,” tutur dia.

Kedua, lanjut Redi; dalam ketentuan UU Minerba bahwa Kontrak Karya (KK) dan PKP2B yang berakhir kontrak tidak bisa serta merta beralih ke IUPK melainkan terlebih dahulu dikembalikan kepada negara dan menjadi Wilayah Pencadangan Negara (WPN). Namun RPP yang diwacanakan mengakomodir perpanjangan kontrak dan peralihan rezim ke IUPK.

Tidak hanya itu, RPP 23 juga akan berpotensi merugikan negara. Pasalnya ketika kontrak berakhir, maka aset pertambangan harusnya menjadi barang milik negara, namun jika dilakukan perpanjangan dikhawatirkan aset yang ada tidak terpantau dan klausul kontrak tidak menguntungkan.

“Infrastrukturnya itu milik negara yang harus dicatatkan ke Kemenkeu, tapi kalau tidak maka melanggar administrasi negara dan tentu berpotensi korupsi. Belum lagi terkait penerimaan negara, PPh Badan, rolyati harusnya dibicarakan ulang,” imbuhnya.

Sementara Simon Sembiring turut mempertanyakan dasar peralihan kontrak dari PKP2B ke IUP melalui PP. Pasalnya dalam UU Minerba tidak diatur mengenai peralihan izin melalui perpanjangan kontrak. Mestinya tegas Simon, peralihan kotrak itu hanya bisa dilakukan melalui amandemen kontrak itu sendiri.

“Harusnya sistem UU saat peralihan tidak perlu PP, anehnya itu dilakukan. Jadi saya bingung siapa sih arsitekturnya. Harusnya lewat amandemen PKP2B,” ujar Simon

Selanjutnya
Kerap Akomodir Kepentingan Kontraktor, Pemerintah Tidak Tegas

Artikel ini ditulis oleh:

Dadangsah Dapunta