Federasi Serikat Pekerja BUMN Strategis melakukan aksi tolak Kebijakan Menkominfo tentang penurunan tarif interkoneksi dari Rp 285 ke Rp 204 di depan DPR, Jakarta, Selasa (30/8). Kebijakan tersebut sangat berpotensi menciptakan potensi kerugian negara (potential loss) signifikan yakni sekitar Rp 800 miliar. AKTUAL/TINO OKTAVIANO

Jakarta, Aktual.com – Kebijakan Menteri Komunikasi dan Informasi, Rudiantara yang mengusung revisi PP No 52 dan PP No 53 tahun 2000 tentang network sharing dianggap tak memperhatikan faktor keadilan terhadap jerih payah PT Telekomunikasi Indonesia (Persero) Tbk dan anak usahanya PT Telkmsel selama ini.

Padahal selama ini, BUMN telekomunikasi ini yang telah berjasa dengan ‘berdarah-darah’ membangun jaringan di Kawasan Timur Indonesia (KTI) dan rural area, tapi dengan kebijakan itu justru menguntungkan operator swasta.

“Tentu saja aspek keadilan atau fairness harus menjadi pertimbangan dan perhatian utama dalam penyusunan kedua PP ini,” jelas penganat ekonomi dari CORE Indonesia, Mohammad Faisal, di Jakarta, Jumat (25/11).

Kedua PP itu memang mengatur sharing atas infrastruktur teknologi informasi dan komunikasi (TIK) yang mencakup backbone dan jaringan.

Dia menegaskan, keadilan yang dimaksudnya tentu saja terhadap Telkom dan Telkomsel. Selama ini, biaya yang mereka keluarkan untuk membangun infrastruktur BTS guna melayani KTI dan rural area sangatlah mahal.

Dlam membangun infrastruktur, misalnya, kata dia, ekspansi infrastruktur telekomunikasi yang mereka lakukan di KTI dan daerah pedesaan membutuhkan biaya yang besar.

“Sehingga, dengan kondisi itu memaksa Telkom dan Telkomsel harus menggunakan genset untuk memenuhi kebutuhan listriknya,” jelas Faisal.

Kondisi itu tentu saja high cost (biaya tinggi). Karena semakin lama genset beroperasi, maka akan semakin besar beban telekomunikasinya, bahkan kemungkinan merugi. Belum lagi kalau memperhitungkan biaya satelit untuk pelayanan telekomunikasi di daerah tersebut.

“Jadi jika gegabah dan tak hati-hati, peraturan tersebut justru berpotensi memberikan disintensif bagi operator tersebut (Telkom-Telkomsel) yang selama ini banyak membangun infrastruktur telekomunikasi,” ujarnya.

Selama ini, kata dia, Menkominfo berdalih revisi PP ini ditujukan untuk mendorong efisiensi industri telekomunikasi. Padahal nantinya berpotensi merugikan operator BUMN.

“Makanya, jika ngotot dilakukan (revisi), dalam pelaksanaannya dibutuhkan aturan yang jelas untuk skema network sharing tersebut. Makanya skema B to B (business to business) perlu dipertimbangkan,” tandas dia.

Dengan adanya skema B to B, maka semangat pemerataan telekomunikasi tidak menjadi kerugian untuk operator BUMN yang selama ini sudah membangun banyak infrastruktur.

Selama ini, dalam lima tahun terakhir, pertumbuhan BTS mencapai 83 persen. Namun sebaran BTS masih berada di area Jawa dan Sumatera, sementara untuk daerah KTI masih sangat sedikit.

Saat ini, kata dia, infrastruktur BTS di KTI, terutama Maluku dan Papua, ity 98 persen dimiliki oleh Telkomsel. Dengan kondisi tersebut, Telkomsel jelas sangat tidak diuntungkan ketika ada kebijakan pemerataan akses layanan melalui kewajiban sharing.

“Padahal, Telkomsel telah membangun banyak infrastruktur telekomunikasi sebagai bagian dari strategi investasinya. Mestinya juga pemeribtah mendorong operator swasta dan perusahaan infrastruktur terkait untuk ekspansi di daerah remote area,” terang Faisal.

Sejauh ini, berdasar sata yang diolah CORE, jumlah BTS yang dimiliki Telkomsel hingga 2015 mencapai 103 ribu dari 37 ribu di 2010. Sementara XL-Axiata cuma 59 ribu (dari 21 ribu) dan Indosat Ooredo hanya 51 ribu (dari 18 ribu).

Sedang untuk persentase operator yang digunakan di rural area, Telkom dan Telkomsel tentu yang paling banyak dengan porsi 57%, sementara Indosat sebanyak 22%, XL-Axiata hanya 18%, dan sisanya operator lain.

(Laporan: Busthomi)

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Eka