Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI memanggil Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo guna meminta penjelasan terkait kondisi nilai tukar Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat (AS).
“Depresiasi ini jadi perhatian kita karena sudah cukup dalam, per hari ini 5 September USD1 sudah Rp14.927, sudah jauh dari asumsi makro kita yang sebesar Rp13.400,” kata Wakil Ketua Komisi XI DPR, M. Prakosa yang memimpin rapat di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (5/9/2018).
Menurut Prakosa pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dikhawatirkan akan menghambat laju pertumbuhan ekonomi dan akan berdampak terhadap tingkat inflasi yang saat ini berada di level rendah.
“Saat ini dalam jangka pendek belum melihat titik terang kalau masuk terowongan gelap ini, dan diharapkan suatu upaya termasuk terobosan yang bisa kita harapkan dari teman kita di BI sebagai otoritas moneter terkait pelemahan rupiah,” kata Prakosa.
Menjawab pertanyaan DPR, Gubernur BI Perry Warjiyo menjelaskan, faktor pelemahan nilai rupiah masih didominasi faktor eksternal, mulai dari perbaikan ekonomi negeri Paman Sam, rencana kenaikan suku bunga Fed Fund Rate (FFR) yang lebih agresif, hingga ketidakpastian perang dagang antara AS dengan China.
“Pola ekonomi dunia memang didasarkan kuatnya ekonomi AS, sementara negara-negara lain mengalami perlambatan, ini kenapa dolar AS kuat dan yang lain lemah,” kata Perry di ruang rapat Komisi XI DPR.
Kenaikan suku bunga yang dilakukan The Fed juga membuat arus modal asing banyak yang masuk ke Amerika, apalagi negara lain belum ingin melakukan penyesuaian suku bunganya.
“Ini juga semakin dorong investor global pindahkan portofolionya ke AS. Ini faktor-faktor yang sebabkan dolar kuat secara luas,” ungkap dia.
Bank Indonesia (BI) kata Perry juga sudah menggelontorkan dana sebesar Rp11,9 triliun untuk melakukan stabilisasi nilai tukar rupiah. BI melakukan intervensi di pasar valas maupun pasar SBN.
“Kalau kita lihat, Kamis, Jumat, Senin, kita juga sudah lakukan , Kamis sudah Rp3 triliun, Jumat Rp4,1 triliun, Senin Rp3 triliun, kemarin (Selasa) Rp1,8 triliun,” kata Perry.
Perry menjelaskan, intervensi yang dilakukan ini masuk ke dalam strategi jangka pendek BI dalam menstabilkan nilai tukar rupiah. Langkah yang diambil otoritas moneter adalah dengan memperkuat koordinasi BI dengan pemerintah dan OJK, terutama dalam menerbitkan kebijakan-kebijakan.
Selain pengaruh global, pelemahan rupiah belakangan ini juga disebabkan oleh defisit transaksi berjalan (CAD). Pasalnya, transaksi berjalan yang masih defisit menandakan bahwa kebutuhan akan valas semakin besar.
“Makanya fokus kita tangani adalah kondisi CAD, ini yang harus menjadi fokusnya,” tutup dia.
Pelemahan Rupiah Ini Baru Permulaan, Penguasa Tak Paham Ekonomi
Halaman selanjutnya…