Jakarta, aktual.com – Revisi Undang-undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang baru dianggap memperkuat upaya pemberantasan korupsi. Bahkan RUU yang mengatur soal Dewan Pengawas dan SP3, merupakan pasal-pasal yang mengedepankan transparansi dan menjamin keberlangsungan hak asasi manusia (HAM).

Pengamat hukum Slamet Pribadi mengatakan, Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK telah berusia 17 tahun. Selama penerapan Undang-undang tersebut oleh lembaga super body itu, kata Slamet, korupsi di negara ini masih merajalela.

“Korupsi tidak kunjung habis di republik ini, berarti dalam hukumnya atau lembaga hukumnya, atau juga penegakan hukumnya. Ada sesuatu yang perlu dilakukan perbaikan sana-sini. Kalau revisi itu dihubungkan dengan Revisi UU KPK, maka semangat dan tujuannya adalah agar KPK lebih kuat dan lebih independen,” papar Slamet saat dihubungi wartawan, Rabu (9/10).

Dekan Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara ini menambahkan, KPK harus lebih maju cara penindakan dan pencegahannya dari pelaku rasuah. Karena itu, mengingat perkembangan sosial yang cepat dan dinamis, maka Undang-undang yang berusia 17 tahun harus diubah.

“Di sisi lain KPK memanfaatkan uang negara, dan uang donatur dari Kebijakan Nasional Sistem Keuangan Negara, maka KPK harus bisa diaudit oleh siapa saja, baik oleh negara melalui lembaga-lembaga yang berwenang untuk itu, termasuk DPR,” jelas dia.

Di samping itu, dewan pengawas merupakan usulan terbaik agar KPK kuat, independen dan transparan. Pengawas harus benar-benar paham soal korupsi dari sisi teknis, taktis, maupun yuridis, tidak harus orang-orang yang mengerti hukum, tapi bisa juga pihak lain yang jujur serta memahami tujuan keberadaan KPK.

“Pengawas yang kuat dan kredibel akan berkontribusi dalam pembangunan hukum dari sisi hukumnya, kelembagaan hukumnya, penegak hukumya, sarana dan prasarana hukumnya terhadap KPK yang kuat,” jelas dia.

Termasuk juga surat penghentian penyidikan (SP3) yang fungsinya menjamin setiap warga negara mendapat haknya sebagai manusia. Dalam perkara pidana, tidak boleh ada seseorang yang menjadi tersangka seumur hidup atau tanpa kejelasan perkaranya. Menurut dia hal itu merupakan pelanggaran HAM, karena statusnya itu menyanderanya dalam berbagai aspek kehidupan

“Yang bersangkutan mau mengurus semua administrasi apa pun bisa cacat hukum, karena masih tersangka. Negara melalui para penegak hukumnya mengekang seseorang tanpa batas, karena posisinya masih tersangka, bahkan bisa juga yang bersangkutan bisa sampai meninggal dunia tetap masih menjadi tersangka,” jelas dia.

Mengenai polemik Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu), kata Slamet, hal itu merupakan hak presiden dan tidak boleh diintervensi siapa pun. Namun Slamet mengingatkan bahwa RUU KPK yang baru ini cukup membawa kemajuan terhadap lembaga antirasuah itu.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Zaenal Arifin