Gedung baru Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR) itu dilengkapi dengan 30 ruang sidang dengan fasilitas standar meski tidak semua dipakai untuk persidangan kasus tindak pidana korupsi. "Rencana pindahan di kantor baru mulai 16 November 2015.

Jakarta, Aktual.com – Persidangan kasus dugaan korupsi Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuditas Bank Indonesia (BLBI) memasuki babak baru. Beberapa saksi menyebut Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) disebut tidak memenuhi perjanjian Master Settlement Aqcuisition Agreement (MSAA).

“Intinya, Sjamsul Nursalim belum penuhi kewajiban sesuai MSAA,” ujar Advokat dari firma hukum Lubis Ganie Surowidjojo (LGS), Timbul Tomas Lubis saat bersaksi untuk terdakwa mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Syafruddin Arsyad Temenggung, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin (9/7).

MSAA merupakan perjanjian penyelesaian Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dengan jaminan aset obligor dan pembayaran uang tunai. Sjamsul yang juga bos PT Gajah Tunggal Tbk itu diketahui merupakan salah satu obligor yang menerima kucuran BLBI.

Timbul bercerita, medio 1998 firma hukum LGS diminta BPPN untuk melakukan kajian hukuim terhadap BDNI dan Sjamsul Nursalim. Selain itu, LGS juga diminta ntuk membuat suatu pendapat hukum atas perjanjian MSAA.

Atas permintaa tersebut, pihaknya membentuk tim internal untuk memeriksa sejumlah dokumen yang diberikan BPPN. Selanjutnya, LGS mengeluarkan dua kali laporan kajian hukum dan pendapat hukum. Yakni, pada sekitar 2000 dan 14 Maret 2002.

Pada dua laporan itu, disimpulkan lah kalau Nah, Sjamsul belum memenuhi perjanjian MSAA. Pertama, Sjamsul tak mengungkap bahwa utang petambak kepada BDNI sebesar Rp 4,8 triliun sebenarnya dijamin oleh PT Dipasena Citra Darmadja (PT DCD) dan PT Wachyuni Mandira (PT WM). Kedua perusahaan penjamin itu masih milik Sjamsul.

Selain itu,  ditemukan juga utang petani tambak kepada BDNI tergolong sebagai kredit macet dan tak bisa ditagih. Karena tak memenuhi perjanjian MSAA, kata Timbul, Sjamsul seharusnya tidak bisa mendapatkan relese and discharge atau jaminan pembebasan dari proses maupun tuntutan hukuman kepada obligor yang telah memenuhi kewajiban utang kepada BPPN.

Pernyataan Timbul diperkuat oleh kesaksian mantan Direktur Hukum Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Robertus Bilitea.

Dalam keterangannya, Robertus mengatakan bahwa Sjamsul telah melakukan misrepresentasi (membuat seolah-olah sebagai piutang yang lancar) saat menampilkan piutang BDNI kepada petambak. Dikatakan Robert, Sjamsul tak mengungkap utang petambak kepada BDNI sebesar Rp 4,8 triliun sebenarnya dijamin oleh PT Dipasena Citra Darmadja dan PT Wachyuni Mandiri, perusahaan yang juga miliknya.

“Yang tertuang di laporan tim bantuan hukum, memang tidak diungkap bahwa fakta material bahwa PT DCD sebagai penjamin kewajiban utang petambak pada BDNI,” tutur dia.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Nebby