Jakarta, Aktual.co — Presiden Jokowi saat peringatan Hari Lahir Pancasila pada 1 Juni 2015 lalu menyebut Proklamator Bung Karno lahir di Blitar. Tentu pernyataan itu tidak tepat. Dalam berbagai literatur sejarah, Bung Karno dilahirkan di Surabaya.
Kesalahan Presiden dalam menyebut data bukan kali ini saja terjadi. Sebelumnya saat menyebut Indonesia masih memiliki utang di IMF yang nyatanya RI sudah tidak ada lagi utang. Begitu juga Presiden mengaku tidak membaca Perpres No 39 Tahun 2015 yang kemudian populer dengan istilah “I don’t read what I sign”.
Menurut Peneliti Hukum Konstitusi ASHTN Indonesia Mei Susanto, padahal dalam sistem pemerintahan presidensil, Presiden memiliki kedudukan sangat kuat sebagai pelaku utama penggerak organisasi pemerintahan. 
“Di dalamnya melekat dua kekuasaan, yaitu sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara. Khusus sebagai kepala negara, dia adalah simbol negara, sehingga wibawa dan kehormatannya harus dijaga karena menjadi representasi negara dan bangsa,” ungkapnya Dosen Fakultas Hukum Unpad, dalam siaran pers yang diterima redaksi, Kamis (4/6).
Bagaimana jadinya bila Presiden sering salah mengungkapkan data? Kesalahan tersebut jelas mendegradasi wibawa Presiden. Bahkan apabila terus menerus sering salah potensial akan menjadi kebiasaan, dan sangat berbahaya bila kebiasaan ini dibiarkan dan diakui lalu menjadi konvensi ketatanegaraan. 
“Tentu tidak lucu. Jelas konvensi ketatanegaraan lahir dari kebiasaan praktik bernegara yang diakui dan dijalankan untuk mengisi kegiatan ketatanegaraan yang tidak diatur secara positif. Bagaimana jadinya bila konvensi ketatanegaraan lahir dari kebiasaan negatif dan buruk. Tidak hanya mendegradasi bahkan telah meruntuhkan wibawa Presiden sekaligus meruntuhkan simbol negara,” sergahnya.
Karena itu, sambungnya, Presiden Jokowi harusnya melakukan koreksi dan evaluasi secara total terhadap supporting system lembaga kepresidenan yang ia pimpin. Lembaga-lembaga di lingkar dalam Presiden seperti Staf Kantor Kepresidenan, Setneg dan Setkab harus ditegur dan dievaluasi agar memberikan masukan yang tepat kepada Presiden.
“Kita beruntung, dalam negara kita tidak menganut ‘the king can do no wrong’, kepala negara dianggap tidak pernah salah. Kalau ini dianut dan presidennya sering salah, bah ngeri kali negeri kita ini,” demikian Mei.

Artikel ini ditulis oleh: