Jakarta, Aktual.com – Pernyataan Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) patut dipertanyakan, saat menanggapi Presiden Direktur Agung Podomoro Land (APL) Ariesman Widjaja yang dijadikan tersangka oleh KPK. Dimana Ahok menyebut Pemprov DKI tak ada kerja sama dengan APL terkait reklamasi Teluk Jakarta.

“Kita enggak ada kerja sama dengan APL,” kata Ahok, di Kelapa Gading, Jakarta Utara, Jumat (1/4).

PT Muara Wisesa Samudera (MWS) yang diketahui mendapat izin reklamasi dari Ahok untuk Pulau G (Pluit City) sendiri diketahui merupakan anak perusahaan dari pengembang properti, PT Agung Podomoro Land Tbk.

Kalau Ahok menyebut tidak ada kerjasama dengan APL, namun dari penelusuran Aktual.com, Pemprov DKI pada tanggal 28 April di akun di Youtube mengupload video berjudul ’28 Apr 2015 Gub Basuki T. Purnama Menerima PT Muara Wisesa Samudra’ (link video) 

Di video itu, jelas terlihat Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land (APL) Ariesman Widjaja berbicara mengawali rapat membicarakan Pulau G. Posisi duduk Ariesman tepat di sebelah kanan Ahok. Sedangkan di sebelah kiri Ahok duduk Kepala Bappeda DKI Sarwo Handayani dan juga tampak Lasro marbun.

Ariesman menjadi pembicara pertama di rapat dengan mengatakan ini:

“Maksud kami adalah untuk tindak lanjut izin pelaksanaan reklamasi Pulau G yang telah kami peroleh (dari Pak Ahok). Sedikit (tidak jelas ucapan) setelah bergesernya pulau ke arah pulau N. kami masih menunggu koordinasi dengan terbitnya koordinat pulau yang baru. mungkin perlu bantuan dari pak gubernur (Ahok) dan seluruh tim untuk segera menunjukkan koordinatnya.” (untuk lebih lengkap ada di video)

Di rapat itu, Ariesman tidak hanya hadir sebagai pembuka rapat lalu duduk menonton jalannya rapat saja. Di menit ke 5.10, dia juga aktif menanggapi saat salah satu pejabat pemprov DKI (tidak diketahui namanya) yang hadir mengutarakan masalah teknis desain konstruksi pulau reklamasi di atas pipa gas di dasar Teluk Jakarta. Dimana si pejabat menilai desain konstruksi sangat berbahaya untuk pelaksanaanya. Juga terkait sedimentasi.

Ariesman menjawab “Di kanal 250 meter kami sudah menyiapkan potongan realistik mengenai kanal yang lebarnya 250 meter, seperti apa kedalaman air dan potensi sedimennya. usul kami tetap digunakan batu dan teknik yang lebih konvensional sehingga lebih kuat menahan arus gelombang.”

Dari jawaban Ariesman yang sudah masuk ke paparan teknis, menjadi diragukan kalau dia sama sekali tidak tahu menahu secara mendalam atau tidak ada kaitan dengan urusan reklamasi PT MWS.

Di situ, Ahok menempatkan dirinya sebagai ‘wasit’ saja karena tidak mengerti soal teknis. Begini kata Ahok: “Kalau Bapak keberatan ngomongnya sekarang saja. Saya jadi wasit saja Ya saya ngga tau kan teknisnya masing-masing, kalau sudah ngga ada masalah lagi ya kita putus.”

PT MWS sendiri diketahui merencanakan untuk mengembangkan ‘Pluit City’ di atas pulau reklamasi Pulau G jika kelak terealisasi. Dari situs www.pluit-city.com, terpampang kalimat ‘sebuah pulau reklamasi persembahan yang terdapat hunian rumah, ruko, office dan sentra bisnis terpadu. sebuah kota elite mandiri terbaru yang berdasarkan konsep kota metropolitan internasional’.

Juga terpampang tulisan : Pluit City adalah Sebuah kota baru persembahan oleh Agung Podomoro Land alias APL. Dengan mengusung konsep “World Class Waterfront City” maka Agung Podomoro Land dalam mengembangkan Pluit City menggunakan para Professional kelas dunia dalam membangun dan mengembangkan Pluit City seperti : Layout tata kota oleh Skidmore, Owning & Merills (USA) Proses reklamasi dan penimbunan tanah oleh : Van Oord dan Boskalis (Netherland) Penghijauan dan design taman Central park at Pluit City oleh Martha Schewatrz (London).

Dengan disebutkan kalau proyek Pluit City merupakan garapan APL, bagaimana Ahok bisa mengatakan tidak ada berhubungan dengan mereka untuk urusan reklamasi Pulau G?

Bahkan Ahok baru-baru ini dengan bangga gelontorkan dana kompensasi proyek reklamasi dari PT MWS sebesar Rp 70 miliar. Jangan mengira dana yang digelontorkan tanpa persetujuan DPRD DKI itu digunakan Ahok untuk bangun sekolah di DKI yang hampir 50 persennya dinyatakan rusak. (Baca: Loh, DPRD Ternyata Tidak Bisa Awasi Penggunaan Kompensasi Pengembang)

Tapi, dana itu untuk bikin parkiran di Markas Polda Metro Jaya seluas 30.582 meter persegi yang konon bisa menampung hingga 798 mobil. “Kami berterimakasih sama pengembang (Agung Podomoro). Ini uang (kompensasi) dari reklamasi pulau,” ujar Ahok sumringah saat groundbreaking di Mapolda Metro Jaya, Jakarta Selatan, Rabu (2/3).

Dengan secuil fakta-fakta di atas, menjadi cukup mengherankan ketika Ahok menyebut tidak ada kerjasama dengan APL untuk urusan reklamasi Pulau G. Sehingga apa yang dikatakan Ahok malah jadi terkesan ‘cuci tangan’ dari kasus besar yang dimulai dengan tertangkap tangannya Anggota DPRD DKI, M Sanusi.

Sebelumnya, KPK sudah menilai tertangkapnya Sanusi untuk kasus suap proyek reklamasi Teluk Jakarta, menjadi contoh bentuk korporasi mempengaruhi kebijakan publik. Wakil Ketua KPK Laode M Syarif, mengatakan lembaganya sangat prihatin dengan kondisi ini. “Ini adalah contoh paripurna di mana korporasi mempengaruhi kebijakan publik,” kata dia, di Gedung KPK, Jumat (1/4).

Padahal, menurut Laode, kebijakan publik harusnya memiliki kepentingan terhadap publik dan bukan kepentingan satu golongan saja. “Bisa dibayangkan kebijakan publik diciptakan hanya untuk kepentingan orang tertentu,” ujar dia.

Sedangkan diketahui, publik (baca: warga Jakarta) terutama di pesisir Jakarta sedang melayangkan gugatan atas izin yang dikeluarkan Ahok kepada Pulau G ke PTUN DKI. Sejumlah ahli kelautan, seperti Alan Koropitan PhD dari Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Muslim Muin Ph.D dari Institut Teknologi Bandung (ITB) juga sudah berulangkali menyatakan proyek reklamasi bukan solusi atasi banjir di Jakarta. Mematahkan pernyataan yang sering diucapkan Ahok kala naik pitam menanggapi pihak yang dianggap menghalangi proyek reklamasi Teluk Jakarta.

Bahkan keterangan di situs Pluit City juga malah semakin menguatkan pandangan kalau reklamasi tidak lain adalah untuk kepentingan segelintir pengembang hunian mewah saja. Dan bukan untuk kepentingan mayoritas warga Jakarta. Mencuatkan pertanyaan terakhir, untuk siapa sebenarnya kebijakan Ahok sebagai gubernur DKI? Warga Jakarta atau pengembang?

Artikel ini ditulis oleh: