Ribut soal ulah Gubernur DKI Ahok membeli lahan Rumah Sakit Sumber Waras dan betapa ngotot dirinya mempertahankan proyek Reklamasi Teluk Jakarta, rupanya di balik itu ada jejak-jejak kelam para Taipan mengincar kawasan seputar gugusan Kepulauan Seribu tersebut.

Jadi ini bukan sekadar soal  tidak sesuainya prosedur hukum yang beraroma korupsi.  Melainkan juga mengingatkan kita betapa strategisnya lahan-lahan tanah di berbagai wilayah kawasan DKI Jakarta yang jadi incaran para konglomerat, khususnya para taipan sejak dulu sampai sekarang. Melalui penelisikan bahan-bahan pustaka tim riset Aktual, daerah Teluk Jakarta yang merupakan bagian dari gugusan Kepulauan Seribu, sejak era pemerintahan Suharto memang sudah jadi sasaran beberapa taipan.

Melalui serangkaian kasus yang mencuat selalu berujung pada satu tema: Menggasak rawa-rawa, untuk dijadikan pemukiman, agaknya kalau kita telisik ke belakang, Ahok hanya salah satu puncak gunung es. Artinya, selain Ahok, ada beberapa pengusaha Cina sebelumnya yang berulah sama seperti Ahok.

Sekitar satu abad lalu, rawa di Jakarta membentang tak kurang seluas 20.000 hektar, dengan luas kota Jakarta kala itu tak lebih dari 150 km2. Sekarang, dengan luas 700 km2, rawa di Jakarta ternyata hanya kurang lebih 2000 hektar.

Kenapa bisa berkurang secara drastis seperti itu? Ya itu tadi, rawa-rawa itu telah dicaplok untuk jadi daerah pemukiman.

Booming real estate sejak era 1980-an terjadi di Jakarta, barang tentu mengandung cerita bagaimana jurus para konglomeat mencaplok rawa-rawa di kawasan DKI Jakarta. Misalnya saja ketika para konglomerat mulai mencaplok rawa di sekitar Sunda Kelapa untuk kompleks wisata yang kini dikenal sebagai Taman Impian Jaya Ancol. Setelah itu, mulailah setapak demi setapak rawa di Jakarta dipreteli satu persatu.

Salah satu aktor penting dari kalangan konglomerat dalam skema pencaplokan rawa-rawa di Jakarta adalah Ir Ciputra, bos Jaya Group. Sasaran utama Pak Ci adalah Rawa di Muara Angke dan Muara Kapuk. Lahan seluas 4000 hektar itu, kemudian ditimbuni 10 juta meter kubik tanah, demi untuk mewujudkan sebuah impian. Membangun sebuah kota di tepian pantai. Mirip seperti kota di ceruk pantai Venesia, Italia.

Langkah Ciputra tidak berhenti sampai di situ saja. Kemudian dia membangun kompleks perumahan mewah di atas lahan seluas 1.200 hektar. Inilah yang kelak dikenal dengan Pantai Indah Kapuk (PIK).

Sebagai bakal calon kota di tepian air, di sekeliling PIK, Marina ditebarkan. Lapangan golf seluas 85 hektar dibangun tak jauh dari kawasan pemukiman itu. PIK juga dilengkapi dengan apartemen, pusat bisnis, mega department store, kompleks perkantoran, kawasan rekreasi, pusat seni dan perhotelan.

Namun sisi menarik dari kisah ini, Ciputra ternyata tidak sendirian dalam menangani mega proyek ini. Sejumlah konglomerat Indonesia ternyata ikut andil dalam proyek impian Ciputra ini. Seperti Sudwikatmono, Ibrahim Risyad, Henry Pribadi, Mochtar Riadi, Budiarsa Sastrawinata, Andre Halim, Teddy Djohar, dan Djony Djohar, serta Ismail Sofyan.

Melalui penggalangan dukungan dari para konglomerat ini, Ciputra berhasil menggalang dana Rp 3 triliun saat itu.

Tragisnya, warga Jakarta Utara harus menerima akibatnya sebagai korban. Punahnya rawAha di Muara Angke misalnya, membuat warga Kelurahan Koja, Tanjungpriok, selalu kebanjiran setiap air laut pasang. Padahal sebelum rawa-rawa itu dicaplok para konglomerat sebagai daerah pemukiman, warga setempat tak pernah mengalami kebanjiran.

Keadaan serupa juga dialami oleh warga Kelurahan Kebon Bawang. Hujan sedikit saja, daerah ini pasti kebanjiran. Tak heran jika kemudian PIK jadi sasaran kemarahan banyak orang. Sehingga tak kurang dari Profesor Ishemat Surianegara, pakar ekologi dan sumberdaya Institut Pertanian Bogor(IPB), pada 1993 menuding PIK sebagai proyek mewah yang menyengsarakan rakyat. Punahnya rawa bukan saja menimbulkan banjir, tetapi juga mempermudah pengikisan tepian pantai oleh gempuran ombak.

Masuk akal jika perembesan air laut ke daratan Jakarta juga semakin meluas dan tak terkendali. Rawa Muara Angke sejatinya merupakan kawasan hutan bakau yang berfungsi sebagai penahan abrasi dan intrusi air laut dan hutan bakau di rawa Teluk Naga hancur akibat jadi lahan perumahan.

Menurut catatan Aktual pada Mei 1993, PIK pula yang kemudian mencaplok kawasan hutan lindung di Muara Angke. sekitar 851 hektar dari 1.100 hektar hutan di Muara Angke habis ditelan untuk dijadikan perumahan mewah.

Dalam Tabloid Detik terbitan Mei 1993, Ciputra membantah jika dirinya bertanggungjawab terhadap perusakan lingkungan akibat proyek-proyek yang dibangunnya di atas rawa-rawa. Menurut Ciputra, PIK didukung oleh konsultan lingkungan dari Belanda, sehingga dampak lingkungan sudah dianalisis dan diperhitungkan secara matang.

Yang mungkin Ciputra lupa, masalah krusial dari proyek ini adalah dampak dari beralihnya rawa-rawa menjadi kawasan pemukiman, bukan pada pasca pembangunan pemukiman tersebut.

Tapi Ciputra bukanlah aktor satu-satunya dalam urusan mencaplok rawa-rawa di Jakarta. Konglomerasi Dharmala Group pun memainkan jurus serupa. Lewat anak perusahaannnya, PT Taman Harapan Indah (THI), konglomerasi milik Hendro Gondokusumo itu menimbun rawa di Muara Karang, seluas 40 hektar, sehingga mirip seperti pulau kecil.

Di atas timbunan rawa ini, dibangun 450 unit rumah, 45 di antaranya dijual seharga Rp 1 miliar. Sisanya, rata-rata dijual Rp 300 juta. Dipicu oleh prospek untung besar, THI kemudian mulai menyasar rawa di Muara Karang, untuk lahan 250 unit rumah seharga 700 hingga Rp 1 miliar. Bahkan dalam rencananya, THI akan membangun kondomonium dan town house di atas rawa seluas 100 hektar.

Untunglah, dalam jajaran pemerintahan Presiden Suharto kala itu, masih ada menteri yang punya nurani dan akal sehat. IB Sudjana, Menteri Pertambangan dan Energi ketika itu, kemudian membatalkannya, dengan alasan pengurugan rawa di Muara Karang itu akan mempersempit celah pantai, sehingga proses pendinginan air laut yang akan mengalir ke dalam turbin PLTU Muara Karang, terhambat. Dan jika ini dibiarkan terus, mesin turbin akan rusak. Padahal, PLTU Muara Karang merupakan bagian dari interkoneksi aliran listrik Jawa-Bali.

Hendrajit dan Tim Riset Aktual.