Jakarta, Aktual.com – Puasa merupakan salah satu bagian dari 5 rukun Islam yang menjadi pilar Islam. Allah telah mewajibkan umat Islam untuk berpuasa bulan Ramadhan dalam Al-Quran Al-Karim. Dalam surat Al Baqarah 183 Allah ta’ala berfirman :
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ كُتِبَ عَلَيْكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Wahai orang yang beriman, diwajibkan kepadamu berpuasa sebagaiman telah diwajibkan kepada umat sebelummu agar kamu bertaqwa.”
Dan juga ayat 185.
فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ ٱلشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ ۖ
“Siapa diantara kalian yang menyaksikan bulan (Ramadhan), maka berpuasalah.”
Dalam syariat Islam, ibadah puasa didasarkan pensyariatannya di atas tiga sumber yaitu Alquran sebagai sumber utama, As-Sunnah An-Nabawiyah, dan juga Ijma’ (konsensus) seluruh ulama. Oleh karena itu mengingkari kewajiban puasa Ramadhan termasuk mengingkari rukun Islam. Dan pengingkaran atas salah satu rukun Islam akan mengakibatkan batalnya ke-Islaman seseorang.
Istilah puasa sendiri terbagi secara lughawi (etimologis) dan syar’i (istilah agama). Secara etimologis, puasa berarti menahan diri dari segala sesuatu secara total. Sehingga orang yang menahan diri untuk diam dapat dikatakan sebagai “orang yang berpuasa”. Allah SWT menjelaskan di dalam kitab-Nya, Sesungguhnya aku (Maryam) telah bernazar berpuasa untuk Tuhan yang Maha Pemurah (QS. Maryam [19]:26). Maksud berpuasa di sini adalah tidak berbicara. Adapun istilah puasa secara syar’i berarti menahan diri dari makan, minum, dan jimak di siang hari dengan disertai niat.
Ustadz Ahmad Sarwat Lc. MA dalam bukunya “Sejarah Puasa” menjelaskan, sebelum diwajibkan puasa Ramadhan, Rasulullah SAW dan para shahabat telah mendapatkan perintah untuk mengerjakan puasa. Di antaranya adalah puasa tiga hari setiap bulan (ayyamul bidh) dan puasa pada tanggal 10 Muharram (Asyura’). Sebagaimana keterangan dalam sebuah hadits, bahwa Rasulullah SAW berpuasa tiga hari pada setiap bulannya dan beliau berpuasa di hari Asyura. (HR. Abu Daud).
Lalu turunlah ayat yang memerintahkan beliau untuk mengerjakan puasa fardhu hanya di bulan Ramadhan saja. Sehingga semua puasa yang sudah ada sebelumnya tidak diwajibkan lagi, namun kedudukannya menjadi sunnah. Beliau sempat berpuasa sebelum Ramadhan selama 17 bulan lamanya. Kewajiban puasa bulan Ramadhan disyariatkan pada tanggal 10 Sya‘ban di tahun kedua setelah hijrah Nabi SAW ke Madinah. Waktunya kira-kira sesudah diturunkannya perintah penggantian kiblat dari masjidil Al Aqsha ke Masjid Al Haram.
Semenjak itulah Rasulullah SAW menjalankan puasa Ramadhan hingga akhir hayatnya sebanyak sembilan kali dalam sembilan tahun.Imam An-Nawawi(w. 676 H) menuliskan dalam kitabnya Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzzab sebagai berikut:
Rasulullah SAW berpuasa Ramadhan selama 9 tahun. Sebab puasa Ramadhan diwajibkan pada bulan Sya’ban tahun kedua hijriyah, lalu beliau SAW wafat bulan Rabi’ul Awwal tahun kesebelas hijriyah.
Sama seperti ibadah lainnya, ibadah puasa Ramadhan juga memiliki hikmahnya masing-masing bagi yang menjalankannya. Pengetahuan akan hikmah ini menjadi penting karena dengannya seseorang akan lebih termotivasi dalam menjalankan ibadah tersebut.
Hikmah pensyariatan puasa tak kalah penting dan istimewa dari hikmah pensyariatan berbagai rukun Islam yang lainnya. Meskipun para Ulama telah berusaha untuk menjelaskan beragam hikmah rukun Islam, namun semua itu tentu sesuai dengan batas pemahaman dan kapasitas keilmuan mereka tentang kandungannya dan sesuai dengan pemahaman pikiran dan akal yang ada. Sebab hikmah hakiki tentu tidak mampu diungkap oleh pena para retoris, pakar agama, kaum bijak, dan para filsuf di setiap tempat dan waktu.
Syekh Ali Ahmad al-Jurjawi dalam Hikmah al-Tasyri’ wa Falsafatuhu menjelaskan bahwa hikmah pensyariatan puasa itu dapat ditinjau dalam berbagai perspektif, yaitu:
1. Sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah karena puasa merupakan ibadah. Ibadah secara mutlak adalah ekspresi rasa syukur seorang hamba kepada Tuhannya atas beragam nikmat yang tak terhingga, Jika kamu menghitung nikmat Allah, maka kamu tidak akan mampu menghitungnya (QS. Ibrahim [14]: 34).
2. Sebagai bentuk pengajaran dari Allah terkait bagaimana kita menjaga, menjalankan, tidak menyia-nyiakan, dan tidak menyepelekan sebuah amanah. Yaitu dengan memerintahkan kita untuk menahan diri dari makan, minum, dan hal-hal yang dapat membatalkan puasa selama siang hari. Semua itu merupakan bentuk amanah yang telah diberikan oleh Allah kepada kita. Menjaga amanah tersebut menuntut kita untuk menahan banyak beban dan kesulitan sehingga dapat melelahkan jiwa dan raga.
Jika manusia dalam keadaan sendiri dan berada di tempat yang sepi, padahal dia dalam keadaan yang sangat lapar dan haus serta memiliki kesempatan untuk makan atau minum karena tak ada yang mengawasinya—dan nafsunya pun menggoda, “Makan dan minumlah, toh tidak ada yang mengawasimu”—lalu dia mengikuti godaan tersebut, maka dia telah mengkhianati amanah dari Allah dan berhak mendapatkan siksa. Anda tentu tahu seberapa berat hukuman bagi pengkhianat di dunia dan akhirat.
3. Hewan adalah makhluk Allah yang hanya mementingkan makan, minum, dan berbagai kenikmatan lainnya. Jika manusia mampu mengekang nafsu hewaninya dari semua hal itu, kemudian dia membersihkan dan membebaskan dirinya dari sifat hewani tersebut, niscaya dia akan mendekat kepada sifat malaikat. Sehingga dalam kondisi semacam ini, dia akan menjalankan ibadahnya secara ikhlas dan bebas dari noda keraguan. Anda juga tahu bahwa jika kaum bijak, filsuf, atau para ahli ibadah dan zuhud dari berbagai mazhab dan aliran hendak menulis suatu karya, maka mereka akan menahan untuk tidak banyak makan agar mereka dapat menjalankan apa yang mereka inginkan.
4. Para dokter telah menyampaikan bahwa sebaiknya manusia tidak makan dengan rakus dan terlalu banyak, karena hal itu akan menimbulkan penyakit kronis sebagaimana disampaikan sebuah riwayat, “Perut (lambung) adalah rumah penyakit dan menjaga makanan (diet) adalah obat yang top. Dan berilah setiap badan (tubuh) hal-hal yang familiar baginya”. Sebagian kaum bijak menjelaskan, “Siapa yang banyak makan dan minum, niscaya dia akan banyak tidur. Siapa yang banyak tidur, niscaya dia akan menyia-nyiakan umurnya”. Kami telah menemukan risalah (tulisan) dari para ulama mulia yang berpendapat bahwa riwayat tadi adalah hadis maudhu’ (palsu) dan hanya berasal dari perkataan para dokter Arab. Sayangnya, pendapat yang mereka sampaikan tersebut bertentangan dengan spirit ayat al-Quran, Makan dan minumlah kalian, namun jangan berlebihan. Sesungguhnya Allah tidak mencintai orang-orang yang berlebihan (QS. al-A’raf [7]: 31).
Dikisahkan khalifah Harun al-Rasyid mempunyai seorang dokter ahli beragama Nasrani yang bertanya kepada Ali bin al-Husain bin Waqid, “Dalam kitab kalian, tidak ditemukan sama sekali ilmu kedokteran. Padahal ilmu itu terbagi menjadi dua, yaitu ilmu badan dan ilmu agama”. Bin Waqid menjawab, “Allah telah merangkum ilmu kedokteran hanya dalam setengah ayat alQuran, yaitu dalam irman Allah, “Makan dan minumlah kalian, namun jangan berlebihan…”. Lalu si dokter Nasrani tadi bertanya lagi, “Apakah sama sekali tidak ada riwayat dari rasul kalian dalam masalah kedokteran? Rasul kami telah merangkum ilmu kedokteran dalam lafal yang singkat, “Perut (lambung) adalah rumah penyakit dan menjaga makanan (diet) adalah obat yang top. Dan berilah setiap badan (tubuh) hal-hal yang familiar baginya.” Dokter Nasrani tadi mengomentari, “Kitab dan nabi kalian tidak meninggalkan apapun untuk Galinus (dokter tersohor dari bangsa Yunani)”. Kisah ini dimuat di jilid pertama dari Tafsir an-Nasai (hlm. 401). Hal ini perlu saya sampaikan untuk menjelaskan hakikat (inti) suatu masalah.
Anda tahu bahwa seorang dokter yang hendak memberi obat kepada pasien, maka terlebih dahulu dia harus mengosongkan perutnya dari segala sesuatu, baru kemudian melakukan proses pengobatan atau memberikan makanan/minuman ringan seperti susu. Mengacu kepada hal itu, maka puasa dengan menahan makanan atau minuman dapat menyehatkan badan.
5. Mengurangi syahwat jimak (seks) yang juga merupakan sifat hewani, di mana akan berat untuk menahannya. Jika ada manusia fakir yang tak mampu menikah tapi takut terjerumus melakukan zina, maka sebaiknya dia melemahkan syahwatnya dengan berpuasa sekaligus menabung untuk keperluan menikah kelak. Rasulullah bersabda, “Wahai para pemuda, siapa di antara kalian telah mampu untuk menikah, maka menikahlah. Dan siapa yang belum mampu, maka berpuasalah. Karena puasa dapat menjadi perisai (tameng) baginya.”
6. Sesungguhnya jika manusia berpuasa dan merasakan pahitnya rasa lapar, niscaya dia akan memiliki simpati dan kasih sayang kepada orang-orang fakir dan miskin yang tak memiliki makanan pokok untuk memenuhi rasa laparnya yang kuat. Diriwayatkan bahwa baginda Yusuf as. tidak makan kecuali dalam kondisi sangat lapar agar bisa teringat dengan orang-orang yang menderita, susah, membutuhkan, dan terjepit.
Itulah Sejarah ringkas diwajibkannya puasa Ramadhan dan beberapa hikmah yang bisa kita petik yang terkandung dalam syariat puasa. Semoga dapat memotivasi kita untuk semakin meningkatkan kualitas ibadah puasa kita lahir dan batin.
Artikel ini ditulis oleh:
As'ad Syamsul Abidin