Jakarta, Aktual.com — Tokoh adat Petrus Asuy mengatakan, Equator Prize yang diberikan Badan Pembangunan PBB (atau UNDP) kepada masyarakat adat Dayak Benuaq di Muara Tae, Kutai Barat, Kalimantan Timur, merupakan bentuk pembenaran perjuangan menyelamatkan hutan adat.

Pemberian penghargaan ini sebagai bentuk pembenaran perjuangan melawan perusahaan kelapa sawit dan tambang, kata Petrus Asuy, tokoh adat Muara Tae di Samarinda, Kamis (29/10).

“Dengan adanya penghargaan ini (Equator Prize) jadi pedoman atau pembenaran bahwa apa yang kami perjuangkan memang benar,” kata Petrus Asuy.

Ia bahkan berharap agar PBB mampu menghentikan pola merusak, mengembalikan, dan memulihkan kembali hutan adat dari kegiatan perusahaan-perusahaan kelapa sawit, logging, dan tambang yang merugikan keberlangsungan hutan adat di kampungnya yang sebelumnya mencapai 12.000 hektare (ha) menjadi 4.000 ha.

Sebelumnya Sekretaris Jenderal AMAN Abdon Nababan mengatakan penyelamat hutan yang diperlukan oleh dunia saat ini. Upaya seperti ini yang harus mendapatkan dukungan dari dunia internasional dan khususnya perlindungan oleh negara.

Ia menyebutkan, bahwa masyarakat Adat di Muara Tae berupaya sekuat tenaga menjaga hutan adat mereka dengan menghadang buldozer perusahaan, dan sejak 2011 mendirikan Pondok Jaga dan melakukan berbagai pembibitan dan penanaman pohon.

Sejak 20 tahun terakhir Muara Tae telah kehilangan lebih dari separuh lahan dan hutan mereka oleh HPH, tambang, dan sawit.

Kehadiran perusahaan-perusahaan telah menyebabkan Masyarakat Adat di Muara Tae kehilangan sumber-sumber penghidupan mereka. Sumber-sumber air menjadi kering dan kini mereka harus berjalan satu kilometer untuk mendapatkan air bersih.

Untuk diketahui, Muara Tae menargetkan untuk merehabilitasi 700 hektare (ha) wilayah adat mereka yang telah rusak. Mereka juga melakukan pemetaan wilayah adat dan mengidentifikasi keanekaragaman hayati yang ada di hutan adat mereka.

Artikel ini ditulis oleh: