Jakarta, Aktual.com —  Tanggal 1 Juli 2015 seharusnya jd momen bersejarah, khususnya bagi pekerja Indonesia apapum sektornya. Untuk pertama kalinya 4 jaminan sosial (amanat UU tentang SJSN Sistem Jaminan Sosial Nasional), berupa Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Hari Tua, Jaminan Pensiun dan Jaminan Kematian diselenggarakan oleh badan yang orientasinya tidak mencari untung bagi dirinya, tapi badan nirlaba yang keuntungan sebesar-besarnya bagi kepentingan peserta. Badan ini disebut BPJS Ketenagakerjaan.

Momen bersejarah, untuk pertama kalinya, sejak 1 Juli 2015, Jaminan Pensiun diselenggarakan di Indonesia tidak lagi hanya untuk PNS tapi bagi seluruh rakyat pekerja.

Momen bersejarah ini “tercederai” akibat keterlambatan peraturan pelaksana yang terlambat dibuat. Harusnya 3 PP, PP Jaminan Kecelakaan Kerja dan Kematian, PP Jaminan Hari Tua, PP Jaminan Pensiun, yang seharusnya berdasarkan perintah UU BPJS harus selesai paling lambat 25 Nopember 2013, ternyata tidak terpenuhi.

Tadinya saya berharap pemerintah yang baru “mengejar” keterlambatan pemerintah lama, dengan mempriotitaskan tiga PP tersebut paling lambat selesai awal tahun, Januari 2015. Hal tersebut bahkan sudah berulangkali disampaikan di rapat Komisi IX DPR RI. (Bahkan secara pribadi saya sudah ingatkan pada Jokowi saat Pemilu Pilpres, agar implementasi jaminan sosial menjadi prioritas pemerintah baru)

Presiden Jokowi baru menandatangani tiga PP tersebut 29 Juni 2015. Adalah mustahil BPJS Ketenagakerjaan yang harua menyelenggarakan 1 Juli 2015, mensosialisasikan kepada publik dan seluruh pihak terkait dalam waktu satu hari saja. Bahkan bukan hanya pekerja, pemberi kerja, DPR pun hingga saat ini belum tahu apa isi detil dari 3 PP tersebut, bahkan terindikasi kuat, berdasarkan informasi yang saya terima, BPJS Ketenagakerjaan pun belum mendapatkan 3 PP yang sudah ditandatangan Presiden. Badan ini menjalankan ke empat jaminan sosial tersebut hanya berpegang pada draft PP saja.

Apa akibatnya?

Salah satu hal yang menimbulkan gejolak adalah Jaminan Hari Tua. Secara filosofi di negara mana pun Jaminan Hari Tua memang untuk “jaring pengaman” pekerja di hari tua (selain Jaminan Pensiun yang akan diperoleh pekerja setiap bulan di masa pensiun mereka).

Peraturan sebelumnya UU 3/1992 Tentang Jamsostek dan PP 84/2013 mengatur klaim pembayaran JHT syaratnya adalah pekerja yang telah mencapai usia 55 tahun, cacat dan meninggal dunia atau mempunyai masa kepesertaan sekurang-kurangnya 5 Tahun lebih 1 Bulan bisa mendapatkan JHT sepenuhnya sebesar 100%.

JHT adalah Hak Pekerja, Batalkan PP Jaminan Hari Tua Undang-Undang yang sekarang berlaku terkait Jaminan Hari Tua adalah mengacu kepada UU 40/2004 tentang sistem jaminan sosial nasional Pasal 37 ayat 3:Pembayaran manfaat jaminan hari tua dapat diberikan sebagian sampai batas tertentu setelah kepesertaan mencapai minimal 10 (sepuluh) tahun dan Pasal 37 ayat 5:” Ketentuan sebagaimana dimaksud ayat 3 3 diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah. Adapun Peraturan Pemerintah tentang JHT merubah mekanisme pembayaran JHT dengan memberikan manfaat setelah kepesertaannya mencapai minimal 10 tahun dengan besaran 10% atau 30% untuk biaya perumahan sedangkan sisanya baru bisa diambil setelah peserta berusia 56 tahun.

Implementasi UU SJSN yang disahkan tahun 2004, berjarak 11 tahun (akibat UU tersebut tidak dijalankan pada pemerintahan yang lalu). Artinya, sesungguhnya memiliki tenggat waktu cukup panjang agar prasyarat implementasi terpenuhi.

Dengan kondisi ketenagakerjaan yang ada tentu ada hal-hal pengecualian yang seharusnya menjadi pertimbangan. Berdasarkan informasi (PP terkait belum bisa diskses). Peraturan JHT menafikkan kondisi ketenagakerjaan yang ada. Tidak memperhitungkan pekerja yang kehilangan pekerjaan bukan karena PHK (yang mendapatkan pesangon). Ada pekerja yang kehilangan pekerjaan akibat mengundurkan diri atau kontrak kerjanya habis (sebelum kepesertaan 10 tahun), artinya kehilangan pekerjaan tanpa ada pesangon. “Tabungan pekerja dalam JHT” menjadi harapan satu-satunya untuk menyambung hidup atau memulai usaha mandiri.

Rekomendasi Politik

Atas realitas ketenagakerjaan yang ada akibat 3 PP terkait 4 Jaminan Sosial yang ditandatangani Presiden Jokowi 29 Juni 2015, saya menyatakan:

1. Mendesak Pemerintah Jokowi, khususnya para menteri terkait SEGERA menyampaikan kepada publik PP tentang Kecelakaan Kerja dan Kematian, PP tentang Jaminan Hari Tua dan PP tentang Pensiun.

2.Mendesak Pemerintah Jokowi untuk sementara menghentikan dijalankannya 4 Jaminan Sosial tersebut sebelum PP terkait dipublikasi secara resmi . BPJS Ketenagakerjaan beroperasi TIDAK BOLEH berdasarkan asumsi atas draft PP semata.

3. Jika benar isi PP tentang JHT seperti yang sekarang mekanismenya dijalankan BPJS Ketenagakerjaan, maka saya mendesak Pemerintah Jokowi untuk mencabut PP tersebut dan terbitkan PP tentang JHT yang baru. PP tersebut ditujukan untuk mengatur tentang JHT,  jadi seoptimal mungkin harus mengatur  sampai hal-hak yang bersifat teknis, termasuk pengaturan untuk menjawab bagaimana jika pekerja kehilangan pekerjaan karena PHK, mengundurkan diri, atau masa kontrak habis di saat kepesertaan belum mencapai 10 tahun.

4. Mengajak pekerja Indonesia untuk terus mengkonsolidasikan diri, melakukan desakan kepada pemerintah agar serius dan profesional menjalankan jaminan sosial yang orientasinya memberikan perlindungan dan keuntungan kepada rakyat pekerja, serta menolak segala bentuk komersialisasi jaminan sosial.

“TIDAK ADA KESEJAHTERAAN SOSIAL TANPA SISTEM JAMINAN SOSIAL NASIONAL”

Jakarta, 3 Juli 2015

Salam Juang

Rieke Diah Pitaloka

Komisi IX DPR RI
Anggota Pansus RUU BPJS DPR-RI 2009-2011