Sehingga pada akhirnya Badan Usaha Niaga Gas Bumi tak sanggup menyuplai gas, dan para pembangkit PLTG pun terpaksa beralih menggunakan BBM jenis solar.

Keadaan ini tentu memprihatinkan. Yang mana pada kenyataan bahwa Indonesia merupakan negara produsen gas sekaligus eksportir gas, namun pembangkit yang ada tidak menyerap gas domestik dan malah beralih ke solar yang notabene sebagai jenis BBM yang diperoleh Indonesia melalui impor. Dan diketahui secara umum bahwa energi primer dari Solar tidak seefisien jika dibandingkan dengan penggunaan gas.

Adapun klausul Permen yang disinyalir menjadi batu sandungan penyerapan gas untuk pembangkit, terdapat pada pasal 8 ayat 1; PT PLN atau Badan Usaha Pembangkit Tenaga Listrik (BUPTL) dapat membeli gas bumi melalui pipa di pembangkit tenaga listrik (plant gate) dengan harga paling tinggi 14,5 persen dari harga minyak mentah Indonesia atau Indonesia Crude Price (ICP).

Dilanjuti pada ayat 2; dalam hal PLN atau BUPTL tidak dapat gas melalui pipa dengan harga paling tinggi 14,5 persen dari ICP maka PLN atau BUPTL dapat membeli Liquefied Natural Gas (LNG) di bawah penawaran harga Gas Bumi melalui pipa.

Bambang menjabarkan, bahwa logika Permen itu telah terjungkir balik. Dia mengatakan, bagaimana bisa harga LNG dipaksa sama atau lebih murah dari harga gas pipa? Sedangkan diketahui proses niaga LNG membutuhkan biaya operasional yang meliputi midstream diantaranya biaya kapal dan regastifikasi.

“Permen ini menjadi batu sandungan. Kok harga gas pipa disamakan dengan LNG. Ambang batasnya kok bisa sama 14,5 peren yang menggunakan pipa dengan yang LNG?” herannya.

Bambang mengingatkan, kondisi geografis Indonesia merupakan negara kepulauan, tentu tidak memungkinkan semua pulau untuk dipaksakan dijangkau dengan pipa. Artinya mekanisme bisnis yang paling memungkinkan yakni tetap mengakomodir sistem distribusi melalui LNG. Namun dengan Permen ESDM No.45/2017 telah membuat LNG untuk pembangkit menjadi tidak ekonomis.

“Emang di semua pulau-pulau kita terdapat sumur gas? Tidak! Ini negeri kepulauan bukan benua yang semua dataran, maka yang sangat dimungkinkan menggunakan kapal melalui LNG, tapi kalau ambang batasnya sudah di patok, maka nggak ketemu harganya dengan yang menggunakan pipa,” tutur dia.

Kondisi ini praktis membuat BUPTL mempertimbangkan beralih ke solar lantaran tidak mendapat pasokan LNG. Sementara mengharapkan gas pipa, infrastrukturnya belum mempuni untuk menunjang kebutuhan yang ada.

“Karena Permen itu, akibatnya PLTG terhenti bahkan ada beralih kepada solar. Saya merasa Permen ini aneh, kenapa harga gas pipa 14,5 persen dan harga LNG yang pake kapal, lalu ada proses regastifikasi, harganya dipaksa sama 14,5 persen dari ICP bahkan lebih murah dari itu? Secara tidak langsung yang di Benoa tidak bisa beroperasi lagi karena Permen ini. Karena harganya jauh diatas 14,5 persen,” kata Bambang.

“ Lalu, sengaja atau tidak aturan ini dibuat? atau memang ada pihak yang berkepentingan terhadap solar untuk menghidupkan pembangkit? Padahal PLN sendiri menyatakan menggunakan LNG jauh ramah lingkungan dan lebih efisien, namun Permen ini malah tidak sejalan dengan hal itu. Jadi sampai kapan kita pake gas yang kita punya sendiri sedangkan solar kita dapati dari impor. Coba dasarnya apa penentuan Permen ini,” tukas Bambang.

Baca Selanjutnya…

Artikel ini ditulis oleh:

Dadangsah Dapunta