Jakarta, Aktual.com – Sidang lanjutan dugaan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) kasus dugaan korupsi PT Asuransi Jiwasraya (Persero) menghadirkan sebanyak 7 saksi, 4 diantaranya dari Bursa Efek Indonesia (BEI), kembali digelar di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Senin (10/8).

Saksi-saksi dari BEI antara lain Goklas AR Tambunan, Kepala Divisi Penilaian Perusahaan III BEI; Vera Florida, Kepala Divisi Penilaian Perusahaan II BEI; Irvan Susandy, Kepala Divisi Pengaturan Perdagangan dan Operasional dan juga Mantan Kepala Divisi Pengawasan BEI periode 2012-2017; Endra Febri Setyawan, Kepala Unit Pemeriksaan Transaksi BEI.

Unoto Dwi Yulianto, kuasa hukum terdakwa Harry Prasetyo (Mantan Direktur Keuangan Asuransi Jiwasraya) dalam keterangan persnya menjelaskan menurut saksi Goklas AR Tambunan, istilah Bluechip, Small Cap dan Midcap tidak dikenal dalam bursa efek.

“Ketika ditanya apakah saksi mengenal istilah saham Blue Chip, small Cap, Midcap? Saksi GOKLAS AR Tambunan mengatakan bursa efek tidak mengenal saham blue chip. Semua saham diperlakukan sama dan selama tercatat dibursa saham maka saham tersebut layak diperdagangkan” kata Unoto Dwi Yulianto, kuasa hukum terdakwa Harry Prasetyo.

Keterangan saksi ini menurut Unoto juga sesuai dengan pernyataan saksi Irvan Susandy. Dalam kesaksian Irvan, istilah yang dikenal di bursa efek adalah LQ45, Kompas 100, Indeks Sektor pertambangan, Indeks sektor pertanian dan lain sebagainya yang merupakan indeks resmi yang terdaftar di BEI.

Adapun keterangan saksi lainnya adalah mengenai kepemilikan saham TRAM pada portofolio Jiwasraya.

“Kesaksian Endra Febri menerangkan, saham TRAM pernah masuk dalam daftar LQ45 dua kali ditahun 2012 dan 2018, sempat pula ditahun 2014 diusulkan masuk LQ 45. Namun tidak jadi dirilis (dijual) oleh Jiwasraya karena suatu hal,” kata Unoto.

Sedangkan saksi Vera Florida mengungkapkan fundamental perusahaan tidak selalu berbanding lurus dengan harga saham.

“Menurut saksi Vera Florida, kadang perusahaan membukukan keuntungan namun sahamnya turun. Begitupun sebaliknya, kadang mencatatkan kerugian, namun sahamnya naik. Karena adanya volume transaksi saham. Hanya saja pada umumnya investor akan melihat laporan keuangan sebelum membeli saham,” kata Unoto.

Unoto juga menjelaskan fakta baru yang terungkap dalam persidangan. Saham-saham milik Jiwasraya yang tersebar dalam beberapa Reksadana seluruhnya masih tercatat dalam Bursa Efek dan dapat ditransaksikan, meskipun saat ini beberapa saham pernah disuspensi oleh BEI.

“Selama periode 2018-2020 tidak ada saham-saham milik Jiwasraya yang di delisting atau dikeluarkan dari bursa oleh BEI, sehingga aneh dalam dakwaan, seluruh saham-saham milik AJS hanya dihargai nol (0) rupiah alias tidak dihitung dalam metode penghitungan kerugian negara,” tegas Unoto.

Hal ini juga berdasarkan kesaksian GOKLAS yang membenarkan pada tahun 2018 saham-saham yang delisting adalah DAJK, TRUB, JPRS, SQBB, dan pada 2019 saham yang delisting adalah NAGA, SIAP, ATPK, BBNP, GMCW, TMPI. Sedangkan tahun 2020, saham yang delisting adalah BORN, ITGG. Semua saham itu delisting dengan alasan merger maupun keberlangsungan usaha.

“Dari semua saham-saham yang delisting tersebut. Tidak satupun ada sangkut-pautnya dengan Jiwasraya,” kata Unoto.