Faizal Rizki Arief
Faizal Rizki Arief

Kali ini soal Peraturan Daerah (Perda).

Dari banyak sudut pemberitaan soal Tolikara, yang paling krusial menurut pandangan redaksi, adalah soal keberadaan Perda yang melarang pembangunan mesjid dan gereja di kabupaten Tolikara selain Gereja Injil di Indonesia (GIDI).

Bupati Tolikara Usman Wanimbo sempat membenarkan hal itu. “Itu dalam bentuk Peraturan Bupati, mesjid dilarang juga dibangun dalam Perda tersebut,” katanya beberapa saat lalu.

Namun, penyelidikan tim khusus bentukan Kementerian Dalam Negeri menyatakan tidak menemukan bukti bahwa Perda itu ada. “Kami sudah menanyakan secara resmi pada DPRD dan Bupati. Keduanya, tidak bisa sampaikan bukti otentik apakah Perda yang dihasilkan oleh pemerintahan sebelum Bupati ini, ada atau  tidak,” katanya beberapa hari lalu di komplek Istana Negara.

Siapa yang benar soal Perda tersebut, apakah Bupati Usman Wanimbo atau Menteri Tjahjo Kumolo? Tulisan ini tidak akan mengupas hal itu. Namun menyoal kembali sampai sejauh apa proses politik terbentuknya sebuah Perda atau Undang-undang dalam konteks otonomi daerah.

Harus dipahami, bahwa proses terbentuknya sebuah aturan hukum mulai Perda atau Undang-undang pasti ada latarbelakang kepentingan politik dan ekonomi. IMF atau World Bank saja bisa memaksakan terbentuknya sebuah Undang-Undang tertentu dalam sebuah negara ketika memberikan sejumlah pinjaman. Apalagi dalam kasus terbentuknya sebuah Perda. Atau, yang sangat parah, dengan iming-iming materi oleh kelompok tertentu, sebuah proses pengesahan sebuah Perda akan cepat disahkan sesuai dengan kepentingan kelompok tersebut.

Dalam konteks seperti itu seharusnya Perda pelarangan pembangunan tempat ibadah (kalau memang faktanya Perda itu ada) di Tolikara itu ditelusuri. Tim investigasi harus mampu menguak akar proses politik terbentuknya Perda itu, mulai dari: ide awalnya dari siapa, siapa yang membuat drafnya, apa motif politik atau ekonominya, siapa yang mengawal sampai draf Perda itu disahkan, sampai soal apakah ada aliran dana atau materi (kalau memungkinkan ditelusuri) yang mendorong agar Perda itu disahkan.

Kata anggota DPR Aboebakar Alhabsyi, harus ada upaya kuat dari negara untuk mengusut tuntas siapa saja aktor intelektual yang merencanakan, mendanai dan memberikan dukungan terhadap penyerangan dan pembakaran mesjid di Tolikara itu.

Dan perlu dipahami juga, Perda itu hanya satu dari ratusan produk Perda-Perda ‘atas nama’ otonomi daerah lain yang ada di pulau yang sangat kaya sumber daya alam itu. Apalagi saat ini ada dorongan dan tekanan kuat dari asing agar negara menyetujui referendum di Papua. Seperti yang terjadi di Timor-Timur dulu.

Tim investigasi dari Kemendagri harus “ngeh” bahwa ada banyak potensi Perda lainnya yang bisa menjadi picu peledak bom di kasus lainnya. Jadi perlu diinventarisir secara ketat oleh negara, Perda apa saja yang bisa merugikan negara dan rakyat Papua.

Lebih luas lagi, beberapa Perda daerah lain yang kaya sumber daya di Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, NTB, Aceh dan Maluku ditengarai justru merugikan kepentingan negara meski (katanya) bisa menyejahterakan daerah itu. Padahal hanya menguntungkan kepentingan kelompok saja.

Sekadar contoh, ada kasus di sebuah daerah dimana sebuah proyek investasi asing besar mampu menyetir Pemda setempat untuk mengesahkan sebuah Perda yang berhubungan dengan status kepemilikan tanah sampai pajak.

Bahkan yang paling ekstrim ada seorang Kepala Daerah mengatakan: “Ke depan kita tidak butuh lagi dana atau anggaran dari Pusat. Dari pajak, CSR dan dana hibah dari investor saja sudah cukup membiayai daerah”. Ini pernyataan yang sangat berbahaya.

Ingat peristiwa hancurnya kota Detroit di AS beberapa saat lalu? Ketika beberapa perusahaan besar yang ada sana banyak yang gulung tikar maka kota yang pernah jaya di waktu lampau itu ikut gulung tikar juga alias bangkrut. Dewan Kota tak mampu lagi menjamin kesejahteraan rakyatnya. Angka pengangguran dan kemiskinan meningkat. Maklum, kesejahteraan dan kedaulatan kota itu digantungkan seluruhnya pada sejumlah perusahaan. Bukan negara.

Apa hal seperti ini yang akan terjadi di daerah-daerah di  Indonesia?

Kalau negara menganggap kemunculan Perda-Perda yang tak terkontrol seperti ini dibiarkan bahkan dianggap sepele maka, ke depan, kebijakan (Perda) otonomi daerah justru akan menjadi pondasi kuat terjadinya disintegrasi.

Perda Tolikara (dan banyak kasus Perda di daerah lainnya) harus jadi pelajaran berharga buat untuk negara ini.