Jakarta, Aktual.com — Tana’ Ulen adalah tanah larangan, sebuah sistem konservasi tradisional yang dikenal sejak lama oleh masyarakat adat Dayak Kenyah di Kalimantan Utara dan Kalimantan Timur untuk menjaga kelestarian hutan dan Daerah Aliran Sungai (DAS) yang menjadi sumber kehidupan mereka.

Hutan-hutan primer dan DAS dalam kondisi masih sangat baik, dengan jumlah ikan berlimpah, hewan buruan dan pohon untuk bahan bangunan tersedia, serta kondisi air bersih yang berlimpah dijaga, dirawat, dilestarikan untuk digunakan secara terbatas oleh seluruh masyarakat untuk keperluan adat.

Ketua Umum Lembaga Adat Dayak Kalimantan Utara, Henoch Merang mengatakan larangan untuk aktivitas berladang diterapkan di seluruh bagian di Tana’ Ulen. Sedangkan, aktivitas berburu, mengambil hasil hutan nonkayu, menebang pohon untuk bangunan, menangkap ikan dapat dilakukan dengan sangat terbatas setelah memperoleh izin dari kepala adat.

“Masyarakat harus mencari hewan buruan di luar Tana Ulen. Izin berburu, mengambil ikan, menebang pohon untuk keperluan memperbaiki rumah hanya diberikan oleh kepala adat jika memang setelah masyarakat mencari di luar Tana’ Ulen tidak menemukan juga apa yang mereka cari,” kata Henoch.

Pemberian izin, menurut dia, sangat terbatas. “Biasanya hanya satu atau dua pohon yang diizinkan untuk ditebang, menangkap ikan pun tidak boleh dengan jaring dan racun, semua ditangkap dengan cara tradisional.” Meski ada larangan bukan berarti tidak ada pelanggaran. Kepala Adat Besar Wilayah Adat Bahau Anye Apui mengatakan terkadang ada masyarakat yang melanggar larangan yang ditetapkan, misalnya izin menebang dua pohon tapi empat pohon yang ditebang.

“Ada saja alasan mereka, dua pohon memang sudah cukup membangun rumah, tapi mereka bilang butuh paku dan lain-lain, sehingga menebang pohon lagi untuk dijual dan dibelikan bahan bangunan lain. Kita kenakan sanksi adat, dan sanksinya bermacam-macam disesuaikan dengan pelanggarannya,” ujar Anyek Apui.

Ia mencontohkan salah satu sanksi berat seperti membayar denda hingga delapan gerabah atau tempayan karena memotong pohon tidak sesuai jumlah yang diizinkan. Harga satu gerabah atau tempayan di satu wilayah adat dapat berbeda, berkisar hingga Rp8 juta, sehingga total denda yang harus dibayar bisa mencapai Rp64 juta.

Selain membayar denda, menurut dia, masyarakat yang melanggar juga harus menanam kembali pohon sesuai dengan jumlah yang ditebang. Dengan cara itu diharapkan kondisi hutan primer dan aliran sungai di sana tetap terjaga kelestariannya untuk anak dan cucu.

Tantangan dari kapitalis Kalimantan dikenal sebagai pulau yang kaya dengan tingkat keanekaragaman hayati (kehati) sangat tinggi selain Papua. Bukan tidak mungkin dalam satu hektare (ha) hutan dapat ditemukan hingga ratusan jenis flora dan fauna.

Tidak hanya kehati, pulau yang secara keseluruhan dikenal dunia dengan sebutan Borneo dan terbagi oleh tiga negara, Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam ini juga kaya dengan mineral. Ratusan ribu hingga jutaan ha hutan dan lahan dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit dan tambang oleh perusahaan bahkan masyarakat sendiri.

Kepentingan kapitalis ini yang, menurut Henoch, semakin mengancam keberadaan hutan-hutan primer beserta DAS yang secara adat telah ditetapkan menjadi Tana’ Ulen. Tekanan itu semakin besar manakala Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat, dalam hal ini diwakili oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) masih mengeluarkan izin konversi hutan untuk tambang dan perkebunan.

Masyarakat adat Dayak Kenyah dari Desa Long Ketaman Laing Tegan mengatakan pengusaha gaharu menyerbu Tana’ Ulen Ketaman di desanya. Mereka datang dari Tanjung Selor, Malinau, hingga Tarakan mengambil gaharu untuk dijual lagi keluar pulau.

Tidak hanya itu, menurut Laing, ancaman lain datang dari perusahaan perkebunan dan kayu alam yang membuka jalur logging di sekeliling Tana Ulen. “Hutannya memang bisa kami jaga, tapi hewannya semakin sulit didapat karena lari semua, takut dengan suara-suara mobil yang melintas. Susah kami berburu.”

Ketua Adat Dayak Kenyak Kecamatan Tanjung Palas Timur Anye Ajang mengatakan kondisi Tana’ Ulen Metun Sajau yang paling dekat dengan ibukota Provinsi Kalimantan Utara, yakni Tanjung Selor, juga tidak jauh berbeda dengan Tana’ Ulen lain di Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara. Jalur logging membelah Tana’ Ulen Metun Sajau, sedangkan aktivitas eksploitasi minyak dan gas bumi dari sebuah perusahaan migas dikhawatirkan mencemari Sungai Sajau dan Sungai Pungit yang mengapit desa tersebut.

Chief Executive Coordinator Social Development WWF Indonesia Christina Eghenter mengatakan tantangan keberadaan Tana Ulen di hilir semakin besar. Kebutuhan membuka lahan untuk keperluan pembangunan semakin tinggi di kawasaan hilir, di tambah dengan banyaknya izin-izin konsesi yang diberikan untuk lahan tambang, migas, hingga perkebunan.

Pada bagian hulu, tantangan dari alih fungsi hutan dan pencurian kayu juga masih ada. Tana Ulen yang ada dalam kawasan Taman Nasional Kayan Mentarang (TNKM), menurut dia, beruntung karena paling tidak lebih terlindung dari kemungkinan alih fungsi lahan.

“Mereka lebih beruntung, terlebih sudah tidak ada konflik antara masyarakat yang sejak awal tinggal di dalam kawasan taman nasional dengan pihak taman nasional. Karena kita tahu konflik antara taman nasional dengan masyarakat masih ada di taman nasional yang lain,” ujar dia.

Mengurangi emisi karbon Belum ada kajian ilmiah yang menyebutkan secara tepat berapa besar kemampuan Tana’ Ulen menyerap emisi Gas Rumah Kaca (GRK). Sejauh ini, penelitian hanya dilakukan untuk mengetahui keanekaragaman hayati di Tana’ Ulen Long Alango dan Setulang di Kalimantan Utara, kata Christina.

Namun, menurut dia, jika taman nasional bisa masuk dalam mekanisme Pengurangan emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan di negara berkembang, peran konservasi, pengelolaan hutan berkelanjutan, dan peningkatan cadangan karbon hutan di negara berkembang (Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation Plus/REDD+) maka seharusnya konservasi tradisional Tana’ Ulen milik masyarakat Dayak Kenyah dan Kayan di Kalimantan Utara dan Kalimantan Timur ini juga bisa disertakan.

“Luas satu area Tana’ Ulen bisa 2.000 sampai 11.000 hektare (ha). Jadi cukup signifikan menyerap emisi karbon jika digabungan dari hulu sampai hilir,” ujar antropolog asal Amerika Serikat ini.

Ia memang tidak memiliki data pasti luas Tana Ulen di Bahau Hulu, Malinau, Kalimantan Utara. Namun ia memperkirakan luasnya Tana Ulen di Bahau Hulu saja bisa lebih dari 50.000 ha.

Sementara itu, Ketua Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) Kasmita Widodo mengatakan pihaknya telah meregistrasi lima wilayah adat besar yakni Pujungan, Bahau Hulu, Pa’ Kinaye, Sungai Tubu, dan Lumbis. Dari lima wilayah adat besar tersebut dua di antaranya memiliki Tana’ Ulen yakni Pujungan dan Bahau Hulu yang didiami masyarakat adat Dayak Kenyah.

Menurut dia, sistem konservasi tradisional yang dimiliki masyarakat adat Dayak Kenyah dan Kayan ini ada hampir disetiap desa di Kalimantan Utara dan Kalimantan Timur. Karena itu, areanya cukup luas dan signifikan untuk bisa menyerap emisi GRK. “Artinya Tana’ Ulen memang signifikan untuk disertakan sebagai salah satu program dalam dokumen kontribusi penurunan emisi karbon yang diniatkan (Intended Nationally Determined Contribution/INDC) Indonesia.”

Ia menyebut Wilayah Adat Besar Bahau Hulu memiliki luas mencapai 329.000 ha, sedangkan Wilayah Adat Besar Pujungan mencapai luas 601.000 ha dengan area Tana’ Ulen mencapai 139.000 ha. “Kalau yang di Bahau Hulu kita belum selesai meregistrasi seberapa luas Tana’ Ulennya.”

Menurut dia, jika memperhatikan isu-isu perubahan iklim dan dikaitkan dengan masyarakat adat memang bagian pentingnya bahwa upaya-upaya yang telah dilakukan oleh masyarakat adat dapat dinaikkan menjadi suatu upaya sebuah negara mengurangi emisi karbon.

“Itu yang selama ini tidak masuk, padahal konsep Tana’ Ulen atau kawasan yang dilindungi masyarakat di Indonesia itu cukup banyak. Artinya konsep perlindungan sebuah kawasan hutan di Indonesia masih menjadi domain pemerintah, masih ada kekhawatiran jika hutan dikelola masyarakat akan rusak.”

Padahal kearifan lokal seperti yang ditunjukkan masyarakat adat Dayak Kenyah melalui Tana’ Ulen atau Tana’ Ang di Dayak Kayan menggambarkan pemahaman tentang konsep konservasi dengan praktik-praktik yang memperhitungkan keberlanjutan sumber daya alam di masa depan.

Bagi Anye Apui contohnya, secara sederhanya konsep konservasi yang benar harus bisa membuat sumber daya alam yang dinikmati masyarakat saat ini juga bisa dinikmati anak dan cucunya di masa depan.

Dalam INDC yang diserahkan ke United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) untuk dibahas dalam Konferensi Para Pihak tentang Perubahan Iklim (Conference of Parties/COP) ke-21 di Paris, Prancis, pada 30 November – 11 Desember 2015, Indonesia menargetkan penurunan 29 persen emisi GRK pasca2020 hingga 2030.

Dalam dokumen tersebut Indonesia menargetkan pembangunan masa depan rendah karbon dengan fokus pada sektor pangan, energi, dan sumber daya air, serta memperhatikan karakter Indonesia sebagai negara kepulauan.

Selain itu disebutkan bahwa INDC Indonesia memiliki kekhasan dengan menjadikan masyarakat adat sebagai faktor penting dalam upaya mengatasi perubahan iklim.

Karena itu, sejumlah organisasi masyarakat dan lembaga swadaya masyarakat yang peduli lingkungan dan masyarakat adat ikut mengusulkan Tana’ Ulen untuk masuk sebagai salah satu program penurunan emisi karbon yang diinisiasi oleh masyarakat adat.

Artikel ini ditulis oleh: