Belanja Pemerintah Tidak Mampu Menjawab Tantangan Ekonomi

Sekilas kelihatannya postur RAPBN 2019 terkategori normal dan tidak menunjukkan masalah, namun Institute for Development Economics and Finance (INDEF) melihat, dari esensi belanja pemerintah tidak mampu menjawab tantangan ekonomi yang sedang dihadapi ‘di depan mata’.

Direktur INDEF, Enny Sri Hartati menjelaskan, tantangan sesungguhnya ekonomi nasional yakni terjadinya perlambatan produktifitas industri akibat kalahnya daya saing. Untuk itu, diperlukan stimulus fiskal yang mampu memompa hal itu. Namun sebaliknya INDEF melihat belanja pemerintah tidak menjawab tantangan yang ada, malah pada saat Rapat Paripurna dengan DPR, Menteri Keuangan lebih banyak menonjolkan argumentasi pada tantangan global dibanding tantangan dari domestik.

“Stimulus fiskal yang diharapkan dalam RAPBN yaitu mendorong produktifitas, tantangan domestik berupa penurunan daya saing dan produktifitas yang membuat stagnasi ekonomi. Tapi malah yag ditonjolkan dalam RAPBN lebih kepada tantangan global. Dikatakan, perang dagang AS Vs Tiongkok, normalisasi moneter AS, konflik geopolitik dan macam-macam,” kata Enny.

Adapun pijakan INDEF menyatakan bahwa tantangan ekonomi nasional berupa perlambatan produktifitas dan kemunduran daya saing industri, hal itu didasari hasil analisa pertumbuhan ekonomi nasional pada tri wulan II tahun 2018. Memang harus diakui pertumbuhan ekonomi pada tri wulan II mencapai 5,27 persen, meningkat dibanding tri wulan I hanya 5,06 persen.

Tentu capaian tri wulan II ini disertai catatan bahwa terdapat daya dongkrak oleh momentum puasa dan pilkada serentak. Namun apakah pertumbuhan itu berangkat dari fundamental yang kuat? Jawabannya tentu tidak, hal ini akibat kelemahan produktifitas dan daya saing industri yang berujung kepada defisit neraca perdagangan hingga pelemahan nilai tukar rupiah.

Baca juga:http://www.aktual.com/panik-defisit-transaksi-berjalan-haruskah-pln-jadi-korban/

Jika diperhatikan, seiring momentum bulan ramadhan dengan stimulus tunjangan hari raya (THR), tingkat konsumsi terdongkrak hingga laju perdagangan meningkat ke angka 5,24 persen dibanding tri wulan I hanya 4,98 persen. tetapi sayangnya sektor industri malah mengalami penurunan ke angka 3,97 persen dibanding tri wulan I sebesar 4,56 persen.

Artinya bahwa barang yang dikonsumsi atau yang dibelanjakan lebih didominasi produk impor ketimbang produk domestik. Ini juga menandakan daya saing produk domestik tergerus oleh produk luar. Diantara faktor penyebabnya bisa diakibatkan tingginya pajak dan biaya lainnya hingga cost produksi terlalu mahal dan tak mampu menyaingi produk luar yang jauh lebih murah.

Peningkatan konsumsi produk luar ini terkonfirmasi dari peningkatan grafik impor mencapai 15,17 secara year on year (Y on Y). Khusus sektor barang konsumsi, porsinya terus bertumbuh hingga periode Januari-Juni 2018 besarannya telah mencapai 9,19 persen. Sementara ekspor hanya 7,7 persen. Defisit neraca perdagangan yang ada telah menjadi beban perekonomian nasional. Diketahui untuk pertama kalinya sejak 2014, peranan neraca perdagangan menjadi faktor yang mereduksi pertumbuhan ekonomi hingga 0,52 persen.

“Nah dari postur anggaran pemerintah, mana yang mampu menghadapi tantangan untuk meningkatkan ekspor, investasi dan peningkatan daya saing. Kalau kita lihat, belanja itu tidak mampu mengatasi permasalahan yang ada di depan mata. Ada anggaran dipeningkatan daya saing melalui pendidikan, tapi itu peranannya jangka panjang, bukan langsung kepada sumber daya padat karya. Artinya belanja itu tidak menjawab,” ujar Enny.

Selanjutnya…
#Fiskal RAPBN 2019 Tidak Efektif

Artikel ini ditulis oleh:

Dadangsah Dapunta