Fiskal RAPBN 2019 Tidak Efektif
Jika memang kebijakan fiskal melalui RAPBN 2019 tidak menstimulus sektor industri, lantas bagaimana efek kebijakan dari RAPBN nantinya? Seperti yang telah disampaikan, pada sektor penerimaan, pemerintah menargetkan Rp2.142 triliun yang terdiri dari pajak Rp1.781 triliun. Angka ini meningkat jika dilihat dari hasil outlok 2018 sebesar Rp1.548 triliun.
Dengan melihat kondisi fundamental ekonomi saat ini, Enny menilai peningkatan target penerimaan dari sektor pajak itu akan membebankan bagi pelaku usaha. Saat ini imbuhnya, rata-rata ultilitas usaha sekitar 70 persen dengan tingkat produksi sektor industri hanya 3,9 persen di tengah penetrasi impor yang semakin dalam. Sehingga, jika target pajak makin digenjot dari pelaku usaha, konsekuensinya biaya produksi makin tinggi dan daya saingnya terhadap produk impor makin kalah.
“Dimana tanggung jawab fiskal pemerintah memberikan stimulus pada dunia usaha? Padahal tantangan yang harusnya diberikan pemerintah adalah memberi kebijakan insentif dan fasilitas untuk membuat dunia usaha yang dua tahun ini sudah banyak yang pingsan. Yang dibutuhkan relaksasi. Sementara dari sisi moneter tidak memungkinkan memberi stimulus karena moneter punya beban memberikan stabilitas nilai tukar melalui kenaikan suku bunga. Maka dari itu, kedepan sektor ril kita akan semakin babak belur,” ujar dia.
Adapun nilai tukar rupiah yang dipatok sebesar Rp14,400 dimaklumi oleh Enny, tentu saja pemerintah harus mencantumkan nilai tukar seoptimis mungkin, meskipun angka itu meningkat dibanding dengan APBN 2018 yang dipatok sebesar Rp13,400 per dolar AS. Penetapan nilai tukar yang terlalu konservatif akan memperkeruh situasi pasar.
Baca juga:http://www.aktual.com/tengah-anjlok-fahri-hamzah-rupiah-bisa-amblaskan-jokowi/
Namun demikian, Enny mengingatkan bahwa penetapan nilai tukar diperlukan mendekati realistis karena ia mempengaruhi struktur pada APBN terutama dari belanja penyediaan subsidi ditengah lonjakan harga minyak dunia.
“Perlu diperhatikan oleh pemerintah, nilai tukar rupiah ini mempunyai konsekuensi terhadap belanja, terutama dari subsidi. Tidak mungkin semua subsidi dibebankan kepada BUMN, Pertamina dan PLN sudah terseok-seok. Sekarang minyak dunia sudah naik. Maka dari itu terdapat potensi tantangan defisit yang berdampak kepada nilai tukar. Jangan lupa, saat ini pun nilai tukar telah menyentuh angka Rp14.800 per dolar AS. Jadi dengan struktur RAPBN itu, saya meyakini nilai tukar akan selalu bergerak di atas asumsi yang ada,” tutur Enny.
Di infrastruktur, harusnya yang menjadi prioritas pembangunan oleh pemerintah yakni infrastruktur yang mampu menekan biaya produksi industri sehingga diharapkan memberi penguatan kepada daya saing. Dia mencontohkan, hendaknya pemerintah mengoptimalkan infrastruktur gas agar harga gas sebagai energi primer bagi pembangkit dapat lebih murah.
“Contoh infrastruktur gas, kalau di negara lain seperti Singapura bisa mendapat harga gas murah hanya USD 6-7 dolar per MMBTU, sedangkan kita ada yang diatas USD 10. Nah bagaimana mampu bersaing dan menggerakkan industri kalau biaya produksi mahal, biaya listrik tinggi. Kalau ini tidak mampu menjawab tantangan penurunan biaya produksi logistik, maka target ekpor tidak akan tercapai,” tukas dia.
Lalu belanja Bansos, diakui secara jangka pendek memungkinkan mampu meningkatkan daya beli masyarakat, namun dengan kekalahan industri domestik dan dominasi produk impor, maka akan memberi kontribusi defisit pada neraca perdagangan yang tentunya juga memperburuk nilai tukar.
Selanjutnya untuk anggaran transfer ke daerah yang mengalami peningkatan secara signifikan, tentunya menjadi pemacu roda perekonomian daerah jika dikelola secara optimal, namun dari hasil evaluasi yang ada, faktanya dana transfer ke daerah kerap disalahgunakan dan tidak memberi dorongan ekonomi sesuai yang diharapkan.
“Dana ini apakah efektif untuk membantu membangun daerah, ini patut dievaluasi. Karena persoalannya nggak selesai-selesai. Persoalan silva, dana mengendap dan sebagainya. Jadi anggarannya naik, tapi apakah ini terbukti meningkatkan dan menggerak perekonomian daerah, atau malah untuk menciptakan elite capture. Nah studi INDEF untuk kesenjangan fiskal di daerah, justru membuktikan kenaikan dana transfer daerah ini justru meningkatkan elite capture daerah. Kesenjangan daerah meningkat,” pungkas dia.
Selanjutnya…
#Kebjikan Populis Untuk Politik 2019?
Artikel ini ditulis oleh:
Dadangsah Dapunta