Jakarta, Aktual.com — Alkisah. Sebuah desa dilanda kemarau panjang. Sungai mulai mengering dan berkurang debit airnya. Sawah dan ladang pun tak bisa diandalkan lagi untuk menghasilkan. Banyak sumur sudah tidak bisa lagi diambil airnya.

Penduduk desa hanya bisa mengandalkan sebuah mata air yang airnya mulai surut. Kemarau kali ini membuat desa yang sebelumnya dipenuhi warna hijau dedaunan, kini nuansa daun kecoklatan lah yang mewarnai.

Namun, di sebuah rumah sederhana milik sepasang kakek-nenek yang letaknya di ujung batas desa itu tampak antrean orang dengan dua ember kosong masing-masing di depan sumur kecil.

Seorang pria paruh baya menghampiri kakek pemilik rumah yang sedang duduk di kursi bambu teras rumahnya setelah memenuhi dua ember dengan air sumur itu.

“Terimakasih. Saya minta izin, besok saya akan ambil air lagi. Sumur saya masih belum keluar airnya,” kata pria itu.

“Silakan nak. Alhamdulillah sumur kecil yang saya buat sekitar 30 tahun lalu itu masih keluar airnya,” kata kakek pemilik rumah.

Kemudian dia meletakkan kedua ember airnya dan duduk disamping kakek itu.

“Sumur lainnya kering semua kek. Cuma sumur kakek saja yang belum kering. Sumber mata airnya mungkin letaknya bagus ya?”

“Mungkin nak, saya ngga tahu. Saya hanya bisa bersyukur pada Tuhan”.

“Bagi ke saya kakek, cara tepat mencari sumber mata air. Saya mau buat sumur baru, biar kalau kena kemarau lagi ngga akan kekeringan”.

“Waduh nak, saya ngga punya cara khusus untuk itu. Tapi, orang tua saya dulu pernah mengingatkan ke saya. Menurut orang tuanya orang tua saya, kalau mau buat sumur itu niatnya juga harus membagi air yang keluar dari sumur itu untuk orang lain dan makhluk Tuhan yang lain seperti tanaman dan binatang. Ibu saya bahkan mengharuskan saya untuk memasukkan lima ekor ikan ke dalam sumur dan tiga ekor ikan ke setiap bak air yang ada di rumah. Ya perintah orang tua itu yang saya lakukan ketika saya memutuskan untuk membuat sumur itu”.

Pria itu termenung. Tak beberapa lama dia minta izin pulang.

*************

Cerita turun temurun soal cara dan niat membangun sebuah sumur ala kakek itu sekarang mulai pudar. Bahkan banyak orang menyebutnya kuno dan tak masuk akal.

Namun, makna dan cara berpikir orang dulu tak pernah dieksplor lebih dalam: bahwa dengan niat membagi air itu ke manusia, binatang dan tumbuhan maka Tuhan akan selalu memberikan keberkahan buat sumur itu.

Bahwa lima ekor ikan harus dimasukkan ke dalam sumur dan tiga ekor ikan di bak air, nenek moyang kita berharap Tuhan akan melimpahkan kasih dan berkahnya dengan menjaga air dalam sumur itu tetap ada karena di sana ada delapan ikan, makhluk ciptaanNYA, yang tetap ingin hidup.

Bahwa niat untuk membagikan juga air sumur ke manusia lain, nenek moyang kita sebenarnya juga berharap agar Tuhan juga akan melimpahkan kasih dan berkahnya untuk tetap menjaga agar air agar tidak kering karena ada manusia lainnya, makhluk ciptaanNYA juga, yang tetap ingin hidup.

Sebenarnya sederhana pesan nenek moyang kita: Dengan niat tulus membagikan yang kita miliki untuk kesejahteraan orang dan makhluk lain maka Tuhan juga akan memberi keberkahan yang tak kunjung habis atas apa yang kita miliki ketika yang kita miliki itu masih terus dinikmati oleh orang lain.

Dan Tuhan akan menarik keberkahan sebuah sumur ketika sumur itu tidak lagi bermanfaat bagi manusia lain atau makhluk lainnya. Bermacam cara Tuhan mencabut berkahnya. Namun yang paling ekstrim adalah menghentikan sumber mata air untuk tetap memenuhi sebuah sumur.

Banyak pelajaran yang bisa ditarik dari cara nenek moyang kita ini. Tinggal kita untuk selalu mawas diri….

 

(Faizal Rizki Arief)