Gedung baru Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR) itu dilengkapi dengan 30 ruang sidang dengan fasilitas standar meski tidak semua dipakai untuk persidangan kasus tindak pidana korupsi. "Rencana pindahan di kantor baru mulai 16 November 2015.

Jakarta, Aktual.com – Terdakwan mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Syafruddin Arsyad Temenggung mengungkapkan alasan dibalik kebijakan pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), kepada Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham pengendali Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI).

“Karena kewajibannya sudah selesai,” ujar Syafruddin, menjawab pertanyaan salah satu jaksa penuntut umum KPK yang menanyakan kenapa SKL diberikan kepada Sjamsul, di pengadilan Tipikor, Kamis (23/8) malam.

Jaksa pun kembali bertanya SKL itu diberikan meskipun masih ada hak tagih utang petambak PT Dipasena Citra Darmaja (DCD). Menurut Syafruddin, itu bukan bukan menjadi urusan lagi karena Sjamsul sudah memenuhi kewajibannya. “Itu bukan urusan,” ucapnya.

Syafruddin kemudian menerangan paparan yang sudah dibuatnya soal Master Settlement Aqcuisition Agreement (MSAA). “Begini, ini konsep MSAA, 47,25 trilyun (ini yang biru ini) kewajiban dan ini aset dikurangi dengan aset senilai Dari sini dikurangi Rp 18,85 trilyun, sehingga sisanya menjadi kewajiban Sjamsul Nursalim, jadi kurangnya ada berapa. Nah, sisanya Rp 28,4 trilyun itu yang ditanggung oleh pemegang saham,” katanya.

Lantas, lanjut Syafruddin, “pemegang saham ini membayar kewajiban angka di atas itu dengan cara apa?  Yakni membayar secara tunai sejumlah Rp 1 trilyun serta dengan saham dari 12 perusahan senilai Rp 27,4 trilyun. Karena itu kewajiban dia itu Rp 28,4 trilyun,” katanya.

“Nah sekarang di 2017, penyidik menyatakan, yang ini tagih ke sini. Kalau maunya begitu, ya silakan kita ubah lagi MSAA. Makanya saat kami diperiksa, kalau begini caranya, baik kami akan tulis surat ke menteri keuangan,” kata Syafruddin.

Syafruddin pun mengaku sudah dua kali menulis surat kepada menteri keuangan, namun menteri tidak merespons. Dalam surat itu disampaikan, bahwa sesuai keterangan penyidik KPK bahwa masih ada kekurangan pembayaran.  Namu berdasarkan audit BPK dan keterengan Menteri Keuangan di DPR sudah diselesaikan dan tidak ada kekurangan.

Jika menuruti seperti keinginan penyidik, lanjut Syafruddin, maka ini sudah melanggar sejumlah ketentuan tentang MSAA. “Kalau begitu, maka kita sudah menabrak semua aturan-aturan, TAP MPR, Propenas, dan keputusan sidang kabinet  serta Inpres 9 tahun 2002, mengatakan, MSAA harus dilaksanakan secara konsisten, jangan diubah-ubah, itulah yang diinginkan KKSK sebelum-sebelumnya,” kata Syafruddin.

Pada kesempatan ini, Syafruddin menyampaikan bahwa utang petambak Dipasena dan PT Wachyuni Mandira itu bukan merupakan kewajiban Sjamsul Nursalim. “Utang petambak itu bukan kewajian Sjamsul Nursalim,” tandasnya.

Menurutnya, untuk membayar BLBI itu pertama-tama adalah menggunakan aset bank itu sendiri, yaitu aset-aset bank yang dinilai baik, yakni kredit yang ada jaminannya tersendiri. Pada sisi aktiva neraca BDNI saat itu nilainya Rp 47 trilyun, namun yang diambil atau diperhitungkan sebagai pengurangnya hanya Rp 18 trilyun karena yang ini ada penjaminannya seperti utang petambak dijamin oleh Dipasena.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Nebby