Selanjutnya yang menjadi sorotan ialah, soal low cost airline atau maskapai penerbangan murah seperti Lion Air. Saat sebuah pesawat celaka dan pesawatnya masuk dalam kategori penerbangan murah, seakan-akan ada pembenaran: wajar kecelakaan terjadi, harganya toh murah.
Lansiran berita beberapa media asing tidak berselang lama setelah kecelakaan pesawat Lion Air JT 610 semakin menegaskan stigma yang ada. Kantor Associated Press misalnya, sampai membuat judul “Indonesian airline whose plane crashed a low-cost high flyer” Berita senada turut diturunkan oleh Washington Post.
Kemudian, berita dari Quartz diberi judul “The Lion Air crash is a throwback to Indonesia’s scary aviation record”. Sorotannya tidak jauh berbeda, seputar jaminan kualitas keselamatan penerbangan. Begitu pula beberapa berita lainnya.
Sulit menunjukkan hubungan langsung antara harga tiket dan soal keselamatan. Namun begitu, maskapai penerbangan yang paling aman cenderung menjadi maskapai yang relatif lebih mahal dalam urusan tarif. Hal itu tampak terlihat dalam nama-nama maskapai dalam Jacdec Airline Safety Ranking 2018.
Atas masalah yang kerap terjadi, pada akhir 2014 lalu, pemerintah Indonesia pun melakukan aturan baru yang mendorong kenaikan harga tiket ekonomi. Kebijakan itu berangkat dari pandangan agar ada peningkatan kualitas operasional maskapai penerbangan.
Pemerintah berpandangan bahwa kenaikan harga semestinya dapat dimanfaatkan oleh maskapai penerbangan sehingga berujung pada peningkatan keselamatan lalu lintas penerbangan.
Di sisi lain, pengalaman bahwa maskapai pesawat Indonesia yang pernah ditangkal oleh Uni Eropa semestinya jadi pelajaran. Meski penangkalan itu kini telah dicabut, kecelakaan penerbangan ternyata masih terjadi dengan korban jiwa tak sedikit pula. Artinya, dunia penerbangan Indonesia masih belum memperbaiki kualitasnya.
Janji Tinggal Janji