Jakarta, Aktual.com – Langkah Kepala Badan Penempatan dan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Benny Rhamdani untuk memperbaiki penempatan Pekerja Migran Indonesia (PMI) menuai respon beragam pihak. Sejumlah pihak bahkan mulai mempersoalkan kebijakan mengenai penempatan PMI, yang berpotensi membebani pahlawan devisa tersebut.
Kebijakan Imigration Security Clearance (ISC), sebuah skema keamanan imigrasi yang berlaku di Malaysia, menjadi salah satu hal yang dipersoalkan. Kebijakan ini bermula dari peraturan negara Malaysia yang menginginkan kandidat pekerja migran memiliki rekam jejak yang tidak bermasalah. Melalui S5 Biotech SDN BHD, Malaysia pun menunjuk PT Bintang Malindo Mediasi (BMM) sebagai pelaksana pelayanan ISC di Indonesia.
Sayangnya, seiring perjalanan banyak pihak menuding skema ini memberatkan PMI dan Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI). Tudingan bahkan berkembang kepada dugaan sejumlah pihak yang mendapat rente dari kebijakan pungutan biaya yang sudah berlangsung selama hampir 5 tahun belakangan.
Husni, General Manager (GM) PT Abul Pratamajaya, mengakui kebijakan ini membebani PMI. Pasalnya Husni menyebut banyak oknum P3MI yang akhirnya membebankan biaya tersebut kepada para pekerja migran. “Saya gak setuju,” katanya.
Menurut Husni, salah satu alasannya adalah kepastian permasalahan imigrasi yang baru bisa diketahui di Malaysia. Sebab dengan mekanisme finger print, uji ISC hanya akan terkonfirmasi di tanah Jiran. Atas alasan itulah, ungkap Husni, sebagian P3MI akhirnya membebankan biaya ISC kepada PMI.
“Cuma ada satu hal yang mesti diketahui. ISC itu harus finger print dan baru diketahui bahwa orang tersebut bermasalah atau tidak, nanti di Malaysia. Nah, jika dia bermasalah, biaya yang Rp450 ribu itu siapa yang nanggung cost-nya?,” jelas dia.
Tiga (3) orang PMI yang bekerja di Kuala Lumpur yang ditemui Aktual.com juga mengaku tak tahu menahu soal pungutan ISC yang dikenakan kepadanya. Mereka menyerahkan semua urusan kepada agen atau P3MI yang memberangkatkannya. Termasuk diantaranya semua biaya yang dibutuhkan untuk bekerja di Malaysia.
“Semua terserah agen,” kata salah seorang diantara mereka yang mengaku bernama Sahid, kepada kontributor Aktual.com di Malaysia, pertengahan September lalu.
Sahid, pria asal Nusa Tenggara Barat (NTB) itu menuturkan tak ada pengawasan ketat atas hasil uji ISC setibanya di Malaysia. Secarik kertas yang ditempelkan di dalam dokumen paspor itu tidak menjadi hal wajib yang diperiksa pihak imigrasi Malaysia.
“Beberapa teman (yang sudah pernah masuk Malaysia) cuek saja. Apalagi tidak semua wilayah di Malaysia mensyaratkan ISC,” ujarnya.
Mereka pun berharap pungutan ISC ini bisa ditiadakan saja. Sebab bagi mereka, biaya pungutan ISC sejumlah Rp418 ribu tersebut bisa digunakan untuk kepentingan lain yang lebih bermanfaat.
Saat ditemui September lalu, Kepala BP2MI Benny Rhamdani menegaskan pungutan ISC tidak boleh dibebankan kepada PMI. Dia pun mengancam akan memproses hukum siapapun yang melanggar kesepakatan ISC tersebut.
“Ini kejahatan, kalau dia harus membebankan kepada PMI. Kesepatakannya kan tidak begitu. Kesepakatannya dibebankan kepada perusahaan yang mempekerjakan,” ucapnya.
Meskipun begitu, Benny mengaku akan segera membicarakan kembali kebijakan ISC ini dengan pemerintah Malaysia. Dia berjanji akan memperbaiki skema dan mekanisme pungutan ISC ini.
“Makanya negara dengan negara bicara dulu. Kita tunjukkan dignity kita untuk tidak tunduk mengikuti keinginan mereka yang membebani PMI,” tutur Benny.
Halaman selanjutnya…